Saturday, September 29, 2007

Lagi-lagi Lagi

Oleh Sunaryono Basuki Ks
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/28/utama/3867947.htm
=====================

Saat makan siang saya bertanya pada cucu saya, Salma. "Kok tidak makan dengan (lauk) ikan laut?" Salma menjawab, "Lagi gak kepingin, Kung."

"Kalau kepingin lagi gimana?"

"Ya, makan."

Saya tak tahu apakah Salma yang duduk di kelas IV SD itu benar-benar mengerti makna kata lagi dalam dua kalimat yang berbeda itu, tetapi ia mampu menggunakan kata itu dalam sebuah kalimat.

Kamus Besar Bahasa Indonesia susunan Pusat Bahasa (1990) dan Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan WJS Poerwadarminta (1982) yang diolah kembali oleh Pusat Bahasa keduanya menjelaskan lema lagi. Menurut kedua kamus itu, lagi memang bermakna ’sedang’, ’tambah sekian’, ’kembali berbuat’, ’dan atau serta merta’, ’sebagai partikel yang menekankan kata atau kalimat yang mendahuluinya’.

Ada juga gabungan kata lagi dengan kata lain seperti dalam lagi pula, lagi pun, lagi-lagi, lagian, dan selagi. Dari KBBI kita belajar, sebuah kata bisa sangat produktif dan mengandung makna yang banyak.

Kasus yang kita hadapi adalah mendadak dangdut yang dipakai sebagai judul karya. Kata dadak yang merupakan adverbia digabung dengan meng-menjadi mendadak yang berarti ’tanpa diduga (diperkirakan) sebelumnya’, ’sekonyong-konyong’, ’tiba-tiba’. KBBI memberi contoh: "banyak orang mati mendadak karena serangan jantung", dan "...kaum gerilya sering mengadakan serangan mendadak pada malam hari".

Adverbia menurut buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa, 1988) dijelaskan sebagai "...kata yang memberi keterangan pada verba, adjektiva, nomina predikatif, atau kalimat. …Adverbia sebagai kategori harus dibedakan dari keterangan sebagai fungsi kalimat". Di dalam contoh di atas, kata mendadak memerikan kata mati dan mengadakan serangan. Saya cetak miring kata mengadakan serangan sebab bilamana hanya kata serangan yang diterangkan, maka yang digunakan harus sebuah adjektiva. Sebagai contoh serangan fajar yang populer dipakai untuk menyertai sebuah peristiwa pemilihan. Kata fajar di sini berfungsi sebagai adjektiva.

Lalu, bagaimana dengan mendadak dangdut? Tanpa menonton "Mendadak Dangdut" di televisi pasti kita dibikin pusing oleh konstruksi aneh ini. Ternyata maksudnya, "menyanyikan lagu dangdut secara mendadak".

Kelenturan bahasa Indonesia dapat memperkaya bahasa itu sendiri, tapi juga bisa membingungkan jika tak memahami konteksnya. Memang karena kreativitas para seniman, sastrawan, penulis naskah drama, penulis skenario film, penulis lirik lagu, bahasa kita menjadi hidup. Belum lagi kalau kita meneliti bahasa gaul, makin pusing, tetapi bagaimana lagi? Penutur yang berkuasa, sedangkan para munsyi hanya bisa mengamati.

Sunaryono Basuki Ks Sastrawan, Tinggal di Singaraja, Bali

Selanjutnya......

Rindu Mudik = Homesick

Pepatah Tionghoa mengatakan: "Sejauh-jauh burung terbang, akhirnya akan kembali ke sarangnya". Hal ini terasakan sekali pada saat menjelang hari raya Idulfitri (Lebaran), dimana banyak sekali orang kejangkitan penyakit "Rindu Mudik". Rindu Mudik ini bukan hanya dirasakan oleh umat Muslim saja melainkan oleh hampir semua orang Indonesia yang berada dirantau, entah ia berada di New York, Amsterdam, Hongkong maupun di Jakarta. Rasa rindu yang dirasakan oleh mereka yang tinggal di Hong Kong maupun di Jakarta sama yang beda hanya jaraknya saja.

Pada saat kita rindu mudik, kita teringat akan kampung halaman dan orang-orang yang kita kasihi, hal ini membuat kita jadi sedih dan sakit, oleh sebab itulah dalam bahasa Spanyol rindu mudik ini disebut "el mal de corazón" = sakit hati. Kita teringat akan kampung halaman, orang tua, masa-masa yang indah diwaktu kecil. Pada saat kita masih kecil, mungkin kita harus hidup dengan segala keterbatasan, tetapi kalau saya jujur itu, bagi saya masa tersebut adalah masa yang paling indah di dalam kehidupan saya. Ingatan saya ketika masa tersebut adalah: "Woouooo…w…..fantastic. it's wonderfull, if we wanna to remember our childhood !"

Mungkin anda masih ingat ketika masa sekolah di sekolah SD, SMP, nonton bioskop, mancing ikan, bermain diwaktu hujan turun. Memang kalau dibandingkan dengan permainan anak-anak jaman sekarang, ini tidak ada apa-apanya, tetapi bagi saya ini masa tersebut mempunyai nilai yang sangat indah dan tak terlupakan.

Jadi rindu mudik tersebut bisa disamakan juga dengan rindu akan masa lampau - Notstalgia. Kata Notstalgia itu diserap dari dua kata dalam bahasa Yunani "Notos" = kembali kerumah dan "algos" = sakit/rindu.

Rindu mudik atau rindu akan kampung halaman dalam bahasa Inggris disebut Homesick sedangkan dalam bahasa Jerman "Heimweh" . Weh = sakit, Heim = rumah, Heimat = tanah air. Kata Heim itu sendiri diserap dari bahasa Jerman kuno Heimoti = Surga.

Kata Mudik diserap dari kata "Udik" yang berarti desa atau jauh dari kota alias di udik. Mudik berarti kembali ke udik, ke asal usul kita oleh sebab itu entah anda tinggal dirumah mewah yang bernilai ratusan milyar Rp ataupun bermukim di Amsterdam ataupun Hollywood sekalipun, ini tidak akan bisa menggantikan suasana seperti rumah di kampung halaman sendiri, walaupun itu di udik sekalipun juga. Jadi tepatlah pada saat kita sedang rindu mudik, kampung halaman itu bagi kita sama seperti juga "surga". Pada saat tersebut saya merasa iri terhadap mereka yang bisa pulang mudik ke kampung halamannya.

Di Eropa, penyakit rindu mudik ini lebih dikenal dengan sebutan "penyakit orang Swiss". Masalahnya sejak abad ke 15 banyak sekali pemuda dari Swiss yang bekerja sebagai tentara bayaran di Italy, Perancis, Jerman maupun Belanda. Mereka itu adalah serdadu bayaran yang pertama, oleh sebab itu juga s/d saat ini di Vatikan masih tetap mengerjakan para serdadu Swiss.

Kelemahan dari para serdadu Swiss itu mereka sering rindu mudik. Hal ini membuat banyak serdadu tersebut yang sering minggat maupun bunuh diri. Maka dari itu pada abad ke 18 di Perancis orang akan dihukum mati apabila berani menyanyikan atau bersiul lagu kampungnya orang Swiss "Kuhreihen" (Ranz de Vaches), mereka takut para serdadu bayaran mereka minggat. Apakah efeknya sama; seperti kalau orang Jawa mendengar lagu "Benggawan Solo"? Maka dari itu juga banyak orang Indonesia dirantau senang mendengar lagu musik Keroncong untuk mengurangi rasa rindu mudik.

Kenapa orang Jawa lebih sering rindu mudik ? Mungkin karena dalam bahasa Jawa kata "dalem" berarti "saya" dan kata "dalem" itu juga identis dengan "tempat tinggal".

Mungkin anda bisa merasakan kehidupan yang jauh lebih nyaman dan lebih berlimpah ruah di tanah orang, tetapi materi tidak akan bisa menggantikan maupun mengisi kekosongan maupun kesepian diri dan batin kita. Semakin lama anda berada ditanah orang semakin terasakan kekosongan jiwa kita, sama seperti juga HP yang kehabisan batterie.

Pada saat kita mudik, kita bisa nge-charge kembali batin dan kekosongan jiwa kita. Kita bisa mendapatkan kembali siraman-siraman rasa kasih dari orang-orang disekitar kita untuk mengembalikan kembali kegersangan, kekosongan maupun kesepian hidup kita dirantau. Sama seperti juga pada saat mengisi batterie; ini tidak harus berbulan-bulan walaupun hanya seminggu atau beberapa hari sekalipun juga, hal ini sudah dapat mengembalikan kembali keseimbangan jiwa kita.

Entah anda ini seorang pejabat tinggi, direktor maupun pengusaha, ketika dirantau anda tetap saja Mr Nobody atau sekedar nomor saja, tetapi dikampung halaman sendiri kita dapat menghayati kembali makna kedudukan sebagai adik, paman, keponakan, saudara ataupun anak.

Disitu kita dapat merasakan kembali kasih sayang tanpa pamrih, kasih sayang yang tulen bukan hanya sekedar basa-basi. Dengan tinggal beberapa saat saja di desa, kita dapat menyadari kembali makna sosial dari seorang tetangga, sahabat ataupun saudara, jadi bukan hanya sekedar sebagai orang lain yang tinggal di seberang rumah atau di samping meja kerjanya seperti yang dihayati di kota. Di kampung halaman kita bisa mendapatkan kembali harkat dan nilai kemanusiaan kita lagi.

Para perantau yang mengadu nasib di kota-kota maupun di luar negeri pada hari Lebaran dapat bertemu dengan sanak saudara, keluarga, serta kerabat di tempat kelahirannya. Rasa haru mewarnai ajang tali silaturahmi, karena mereka selama satu tahun atau lebih berpisah kini dapat berkumpul, bercengkerama, bersendau gurau, serta melepas rindu antar saudara dan kerabat. Dari silaturahmi ini, timbullah rasa kebersamaan, kekeluargaan persatuan dan kesatuan, sehingga dapat merasakan kembali hidup dalam kerukunan, atau rukun dalam kehidupan. Pada saat mudik; kita bisa menjaga silaturahim dengan kerabat di kampung halaman atau lebih jauh lagi kita bakal tetap ingat kepada asal-muasal kita.

Bagi mereka yang tidak begitu bahagia sehingga tidak bisa mudik, anda masih tetap bisa bersilaturahmi melalui surat, chatting, email, video maupun telepon, sebab kata arti sebenarnya dari silahturahmi adalah mendekatkan hubungan kekeluargaan dari segi aspek psikologis atau rohani saja, tanpa kehadiran jasmani atau fisik. Beda silaturahim" sebab kata tersebut mengandung makna lebih dalam. Kata rahim berarti menyertakan jasmani dan rohani.

Mang Ucup
Email: mang.ucup@gmail.com
Homepage: www.mangucup.net

Selanjutnya......

Resep Memaafkan!

Di hari-hari terakhir ini saya mendapatkan banyak sekali email per japri, dimana mereka mohon bantuan bagaimana caranya memaafkan, sebab untuk memaafkan itu tidaklah mudah. Apabila hanya sekedar lipservice saja sih mungkin tidaklah sukar. Disamping itu kok enak dan murah banget sih nilainya maaf ini, seakan-akan barang obralan begitu.

Perkataan maaf itu sangat mudah sekali kita ucapkan, tetapi pernahkah terpikirkan oleh mang Ucup, bagaimana rasanya perasaan dari orang2 yang pernah disakiti, sebagai akibat dari pembunuhan, permerkosaan, penipuan & perselingkuhan. Jangankan untuk soal yang berat2; baru dibohongi sekali saja kadang2 sudah ngambek berat sehingga bisa musuhan ber-tahun2. Bagi mereka perkataan maaf itu besar sekali maknanya.

Dan apakah mang Ucup pernah merasakan disakiti selama bertahun-tahun, udah sabar menerima seluruh penderitaan; di akhir cerita ia minggat lagi dengan WIL/PIL yang lebih muda. Apakah kagak sakit tuh. Sekarang dia hidup senang dengan pasangannya yang jauh lebih muda, sedang aku dirumah hidup sengsara sendirian, belum lagi harus membesarkan tiga anak yang masih kecil2. Apakah untuk perlakuan seperti ini harus dimaafkan dengan secara begitu saja, seakan-akan tidak pernah ada yang terjadi ?

Yang bersalah sekarang hidup senang; sedang Gw yang disakiti hidup sengsara. Bukankah dengan memaafkan dia; hidup Gw akan menjadi lebih menderita karenanya ? Orang seperti itu bukannya harus dimaafkan sebaiknya dipenggal kepalanya dan mayatnya diberikan kepada Sumanto untuk dijadikan gule atau sate begitu. Disamping itu ngapain Gw harus memaafkan dia, boro2 dia mau minta maaf ama Gw, ngaku salah aja kagak pernah ! Jadi satu kesia-siaan saja memaafkan dia !

Harus diakui bahwa memaafkan itu tidaklah mudah dan butuh waktu, seperti juga luka, tidak mungkin akan bisa sembuh dengan seketika. Disamping itu untuk dapat memaafkan itu dibutuhkan perjuangan batin dengan diri kita sendiri. Hikmah dan keuntungan dari memaafkan itu bukannya untuk orang yang menyakiti kita melainkan untuk diri kita sendiri. Percayalah dengan memaafkan anda bisa menghilangkan siksaan dan penderitaan yang selama ini menyiksa diri anda.

Dan seperti yang pernah saya tulis: "Kita tidak akan bisa merubah orang lain, tetapi bisa merubah diri kita sendiri !" Apabila Loe senang dengan penderitaan batin yang Loe alami sekarang ini teruskan saja sampai Loe koit ! Sebab tidak akan ada manusia di dunia ini yang dapat mengambil atau melepaskan beban penderitaan ini selainnya diri anda sendiri ! Perjalanan bagaimana jauhnya sekalipun juga harus diawali oleh langkah pertama. Langkah pertama yang harus anda lakukan ialah mengambil keputusan bersedia untuk memaafkan !

Apabila kita benar2 mau memaafkan orang, kita harus bersedia menguras dan mencuci bersih seluruh arsip kotor dari kesalahan2 orang yang akan kita maafkan, jadi bukan hanya sekedar di bibir saja, melainkan harus dikosek bersih sampai ke sudut bagian yang paling dalam di batin kita. Ini hanya akan bisa terlaksana apabila Anda bersedia melakukan tahapan2 seperti yang tercantum dibawah ini.

Change of Action - Perubahan dari segi lahir: dari muka yang cemberut, bibir yang mencibir dan pandangan mata yang merendahkan, kembali kepada tahapan yang normal, umpamanya dengan mulai menyapa dan memberikan salam kembali seperti biasa. Merubah dan mengembalikan penampilan lahiriah ini tidaklah mudah apalagi kalau sudah lama bermusuhan. Dan kalau tidak bisa bertemu dengan orang tersebut kirimlah SMS atau Email just to say hello kepadanya.

Change of Mind - perubahan dalam pikiran: ini lebih sukar daripada yang pertama sebab kita harus merubah pikiran maupun pandangan kita terhadap orang tsb, hal ini hanya bisa terjadi apabila kita bersedia dan mau mengosongkan pikiran negatif kita terhadap yang bersalah dengan cara melupakannya kesalahan orang tsb. Setelah ini kosong baru bisa di isi dengan pikiran yang positif. Hal ini membutuhkan waktu dan perjuangan diri sendiri untuk berperang dengan "our inside", merubah paradigma bahwa ia melakukan kesalahan tsb hanya karena khilaf dan bukan dengan tujuan untuk menyakiti, apalagi di dunia ini "Nobody is perfect. Everyone can do wrong".

Change of Heart - perubahan dalam hati atau batin kita. Dimana sifat bermusuhan kita bukan hanya sekedar hanya dihapus saja, bahkan dirubah menjadi kasih, dari yang tadinya jauh sekarang menjadi dekat, dari yang tadinya musuh sekarang menjadi sahabat. Yang terpenting jangan sampai timbul maupun dikotori oleh pikiran "jangan-jangan" ia akan melakukan hal yang sama lagi di kemudian hari. Jadi kita harus benar2 bisa memaafkan dengan tanpa syarat!

Apabila kita sudah dapat melaksanakan ketiga tahapan tsb, maka kita akan bisa melihat dan merasakannya keindahan dari perkataan maaf tsb, jadi bukan hanya sekedar bunyi2an atau tulisan kosong saja.

Mang Ucup - The Drunken Priest
Email: mang.ucup@gmail.com
Homepage: www.mangucup.net

Selanjutnya......

Wednesday, September 26, 2007

Orang Terkaya AS dan EBP

Oleh Ninok Leksono
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/26/utama/3868149.htm
===================

"Aset paling berharga bagi perusahaan pada abad ke-21 adalah pengetahuan dan pekerja terdidik. Pengetahuan telah menjadi modal bagi pembangunan ekonomi, menggantikan sumber daya alam yang tidak dapat menjadi andalan lantaran dapat terdepresiasi, bahkan memunculkan perusakan lingkungan yang ujungnya merugikan umat manusia". (Peter Drucker, Management Challenges for the 21st Century)

Pekan silam terbit daftar orang terkaya Amerika versi majalah Forbes. Yang menarik, urutan teratas masih—untuk ke-14 tahun berturut-turut—ditempati pendiri Microsoft Corp Bill Gates, dengan harta sekitar 59 miliar dollar AS (sekitar Rp 560 triliun). Pada urutan ke-4 ada Larry Ellison, pendiri dan CEO Oracle, dengan kekayaan 26 miliar dollar AS.

Perubahan terjadi pada daftar 10 orang terkaya. Untuk pertama kalinya tahun ini masuk dua pendiri perusahaan Google Inc, yakni Sergey Brin dan Larry Page, di urutan ke-5. Kekayaan kedua mogul berusia 34 tahun ini membesar empat kali sejak tahun 2004 dan tahun ini menjadi sekitar 18,5 miliar dollar AS. Nilai saham perusahaan mereka meningkat 500 persen.

Nama-nama lain dalam daftar Forbes tersebut berasal dari kalangan investor, sementara urutan kedua diduduki oleh mogul kasino. Di luar itu, harga minyak yang membubung juga membantu meningkatkan kekayaan juragan (baron) minyak bersaudara, Charles dan David Koch, yang tahun ini menempati urutan ke-9 dengan kekayaan 17 miliar dollar AS.

Mengamati daftar di atas, satu hal yang menggelitik adalah tampilnya sosok-sosok yang berusaha di bidang teknologi informasi (TI), dalam hal ini Microsoft, Oracle, dan Google. Tampaknya, tampilnya orang-orang tersebut menggantikan citra lama bahwa yang bisa menjadi orang terkaya adalah mereka yang berusaha di sektor pertambangan, otomotif, atau usaha konvensional lain.

Dari satu sisi, ini seperti menyiratkan atau membenarkan penilaian bahwa peluang ekonomi, atau perekonomian itu sendiri, telah berubah, yaitu dari ekonomi berbasis sumber daya (resource-based economy) ke ekonomi berbasis pengetahuan (EBP) atau knowledge-based economy.

Seperti disitir oleh Peter Drucker di atas, sumber daya (alam) tidak dapat diandalkan karena dapat terdepresiasi. Pada sisi lain, ilmu pengetahuan justru terus berkembang.

Kekuatan "knowledge"

Seperti diuraikan Rektor Universitas Al Azhar Indonesia Prof Zuhal dalam bukunya (mengenai daya saing, yang segera terbit), selama sejarah umat manusia sumber daya alam, seperti tanah, mineral, minyak bumi, dan hutan, merupakan modal kesuksesan banyak bangsa, tetapi kini sumber daya alam bukan faktor utama lagi.

"Orang kini telah menemukan kekuatan baru yang nonfisik dan selalu terbarukan, itulah yang disebut knowledge atau ilmu pengetahuan," tulisnya.

Bill Gates jelas contoh yang paling spektakuler. Ia bukan tuan tanah, bukan pemilik tambang minyak, atau emas, bukan industrialis, dan bukan diktator yang memiliki tentara yang sangat kuat. Untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, didapati bahwa manusia terkaya di dunia bermodalkan knowledge, dalam hal ini adalah pengetahuan tentang komputasi.

Ditambahkan bahwa nilai semua logam emas yang pernah ditambang dalam sejarah umat manusia, dari zaman sebelum Mesir kuno sampai penambangan modern, seperti di Freeport, termasuk berbagai cadangan negara, seperti cadangan Amerika Serikat di Fort Knox, bernilai hanya kurang dari nilai enam perusahaan komputer/TI, yakni Microsoft, Intel, IBM, Cisco, Lucent, dan Dell. Jadi, nilai perusahaan TI di atas sungguh besar dan pasti jauh lebih besar lagi kalau Google dan Oracle dimasukkan.

Dalam kolom iptek ini, 5 September silam, telah diulas pentingnya peran technopreneur, yakni wirausaha bidang teknologi, dalam merespons perkembangan zaman. Selain menelurkan tenaga-tenaga TI yang kapabel, pendidikan itu sendiri diharapkan bisa mengembangkan jiwa kewirausahaan.

Dalam soal terakhir itu, riwayat hidup tokoh seperti Bill Gates, juga orang-orang terkaya dari bidang TI di atas, bisa disimak. Bill Gates seharusnya bangga karena tahun 1973 ia diterima di Universitas Harvard yang amat bergengsi. Namun, pada tahun awal ia sudah men-DO-kan diri karena ingin mencurahkan segenap tenaga dan pemikirannya untuk Microsoft, perusahaan yang didirikan tahun 1975 dengan teman semasa masih remaja, Paul Allen. Mereka seperti mendapat "wangsit" dan itu lalu menjadi keyakinannya bahwa PC akan menjadi alat yang sangat berguna di setiap kantor dan di setiap rumah sehingga mereka lalu terpanggil untuk membuat program untuk PC.

Di sinilah tampak betapa kecerdasan Gates mampu melihat apa yang akan terjadi pada masa depan dan menangkap apa yang akan dibutuhkan. Lebih dari itu, ia memberanikan diri memenuhi panggilan hidup untuk membela visi yang diyakini tersebut dengan mendirikan perusahaan.

Hal yang sama juga diperlihatkan orang terkaya lain, Larry Ellison. Ia mendirikan Oracle tahun 1977 dengan mengerahkan semua uang 2.000 dollar AS miliknya. Riwayatnya juga tidak seluruhnya bulan purnama karena tahun 1990 Oracle dilanda krisis dan nyaris bangkrut. Di luar itu, Oracle survive dan kini banyak disebut sebagai perusahaan pembuat perangkat lunak nomor dua di dunia.

Merespons zaman baru

Menanggapi zaman (ekonomi) baru ini, Indonesia tentu saja harus merespons kalau tak mau semakin tertinggal. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Mohammad Nuh sempat menyebut perlunya dicapai massa kritis agar TI memberi manfaat berarti bagi pertumbuhan Indonesia. Maksud Menkominfo adalah tentu tidak saja pengetahuan TI semakin merasuk dalam sendi kehidupan bangsa, tetapi juga berarti karena tenaga TI yang mencapai massa kritis akan lebih mudah menggerakkan semangat kewirausahaan.

Dalam kaitan EBP, sebenarnya bidang yang terbuka tidak semata TI karena elemen fundamental di sini adalah pada aspek daya saing, yang muncul karena adanya keunggulan kompetitif, bukan lagi keunggulan komparatif.

EBP—yang mulai sering disebut-sebut di sini pada awal 1990-an—menyiratkan bahwa negara tidak dapat bersandar pada ekonomi semata, tetapi juga pada semua aktivitas kehidupan warganya dalam proses penciptaan, pemanfaatan, dan pendistribusian pengetahuan. Penerapan EBP dimaksudkan untuk memacu daya saing, produktivitas, dan pertumbuhan dengan pendekatan baru, melalui pendidikan, inovasi, pemanfaatan TI, meluaskan jejaring kerja sama, dan—yang tidak kalah pentingnya menurut Prof Zuhal—adalah melalui pemberian peranan baru yang berbeda kepada pemerintah.

Sejumlah negara, seperti Norwegia (yang kini terkenal dengan salmon dan ekspor migasnya) dan juga Finlandia (dengan industri telepon selulernya) adalah contoh sukses melalui penerapan EBP. Indonesia dalam hal ini pun perlu menetapkan langkah, kalaupun bukan untuk menciptakan "orang terkaya", untuk memperbaiki perikehidupan rakyat pada umumnya.

Selanjutnya......

Jenius = Gendheng !

Wang Yinan bocah Tionghoa asal Beijing yang baru saja berusia 14 tahun telah diterima sebagai mahasiswa di Oxford University; salah satu universitas yang paling bergengsi di England, walaupun demikian menurut laporan dari China Daily hal ini bukanlah sesuatu yang istimewa. "Oxford-bound boy genius is 'nothing special' in China". Sehingga timbul pertanyaan kapan seorang bisa dinilai sebagai jenius ?

Kata jenius itu sendiri diserap dari bahasa Arab – Jinn atau makhluk
yang serba bisa. Manusia inteligen belum tentu jenius, sebab
inteligen berarti memiliki bakat dan kepandaian untuk cepat dan
mudah mengerti. Kata Inteligen itu sendiri diserap dari bahasa
Latin "intelligentia" = mudah mengerti. Sedangkan seorang jenius ia
harus dapat menciptakan sesuatu yang baru oleh sebab itu dalam
bahasa Latin "Genius" = menciptakan. Sampai dengan saat ini orang
masih belum memiliki kesepakatan apakah Sigmund Freud ataupun Karl
Marx maupun mang Ucup bisa dinilai sebagai manusia jenius ataukah
tidak, tetapi Kong Hu Chu sudah diakui secara resmi sebagai jenius.

Sebagai patokan untuk dapat dinilai sebagai jenius minimum orang tersebut harus memiliki IQ diatas 130. Tokoh-tokoh yang sudah diakui oleh dunia sebagai jenius adalah: Arsitoteles, Leonardo da Vinci, Pablo Picasso, Thomas Alva Edison, Albert Einstein, Charles Darwin, Isaac Newton dan sederetan lagi nama-nama lainnya. Banyak tokoh-tokoh yang tidak begitu terkenal, tetapi diakui sebagai jenius misalnya: Emil Krebs ia menguasai secara lisan dan tulis dengan sempurna 68 bahasa dan menguasai sekitar 47 bahasa lainnya secara lisan.

Mensa adalah organisasi untuk orang-orang yang mempunyai IQ tinggi. Mensa didirikan pada tahun 1946 di Inggris. Saat ini Mensa mempunyai lebih dari 100.000 anggota di seluruh dunia; 50.000 di antaranya di Amerika Serikat. Anggota termuda adalah George Brown seorang balita berusia 2 tahun yang sudah memiliki tingkat intelegensi sampai 152. Pada usia belum dua tahun ia sudah bisa berhitung sampai 10, mengenal semua warna, bahkan mengucapkan kata-kata dalam bahasa Perancis walaupun ia lahir dari keluarga Inggris. Di Indonesia, ada lebih dari 30 anggota yang tergabung dengan Mensa Indonesia saat ini. Untuk mengetahui apakah anda layak jadi anggota Mensa bisa melakukan test di:
http://www.mensa.de/index.php?id=65

Menurut para pakar psikolog termasuk Lembroso, jenius itu identis dengan gendheng atau neurosis. Jadi tidaklah salah apabila banyak orang yang menyatakan antara gila dan jenius itu bedanya hanya satu strip saja. Oleh sebab itu banyak jenius yang akhinya jadi gila benaran misalnya Nietzsche seorang filsuf Jerman yang jenius, bahkan telah menantang Allah dengan pernyataannya: "Allah itu sudah mati !" hanya sayangnya akhirnya ia yang mati terlebih dahulu.

Kata Savant diserap dari bahasa Perancis yang berarti "orang terpelajar". Pada tahun 1887 Dr J. Langdon Down dalam seminarnya memperkenalkan apa yang disebut "Idiot Savant" adalah para penderita autisme yang memiliki kemampuan yang tidak terkalahkan dari para jenius, bahkan mungkin melebihi mereka.

Dalam usia 6 tahun, Matt Savage telah bisa mempelajari main piano dalam jangka waktu semalam. Pada usia 7 tahun ia sudah bisa mengeluarkan CD hasil komponi sendiri. Brittany Maier (buta, autis) dalam usia 18 tahun sudah bisa memainkan lebih dari 15.000 macam musik klasik tanpa buku. Daniel Tammet bisa menghitung lebih cepat daripada kalkulator, menguasai 10 macam bahasa. Pernah di test dalam satu talk show dimana ia mampu mempelajari bahasa Islandia dalam jangka waktu hanya satu minggu secara lisan dan tulis dengan sempurna. Daniel Tammet menjadi jenius bukannya sejak lahir, melainkan setelah jatuh di kepala dalam usia 3 tahun.

Kim Peek sudah bisa menghafalkan lebih dari 12.000 buku. Bukan hanya sekedar isi dari buku saja, melainkan seluruh kata demi kata. Misalnya ia bisa menghafal seluruh buku telpon hanya dalam waktu kurang dari satu jam atau lebih tepatnya men-scan buku. Dalam waktu 53 detik ia bisa membaca dan menghafalkan 8 halaman buku telpon, lengkap dengan nama dan nomor.

Kenapa bisa begitu cepat ? Sebab ia bisa membaca dua halam dalam jangka waktu yang bersamaan. Mata kiri membaca halaman no 6 sedangkan mata kanan membaca halaman no 7. Kim Peek dijadikan sebagai tokoh untuk peran Raymond Babbitt (Dustin Hoffman) dalam film Rain Man.

Di seluruh dunia pada saat ini hanya ada sekitar 100 manusia penderita savant-syndrome. Perlu diketahui pula, walaupun disatu pihak mereka memiliki kemampuan yang luar biasa, tetapi IQ mereka sebenarnya rendah rata-rata sekitar 70. Sehingga untuk melakukan hal-hal yang mudah dan wajar sekalipun; mereka tidak mampu misalnya menelpon taxi ataupun belanja di supermarkt. Mereka tidak bisa membedakan hal-hal yang tidak ada formulanya, misalnya kecantikan, rasa kasih sayang, lucu, sedih ataupun gembira.

Jenius atau bodoh sebenarnya hanya sekedar penilaian atau label saja yang diberikan oleh orang-orang disekitar kita. Jenius atau bodoh hanya sebuah kata yang tidak memiliki makna bagi nilai manusia itu sendiri sebagai makhluk Tuhan dengan segala keunikannya yang tersendiri.

Jadi bagi mang Ucup; saya dinilai guo..oblok, dunguk atau idiot sekalipun ora opo-opo alias sami mawon. Jadi tepatlah seperti apa yang ditulis oleh Shakespeare apakah artinya sebuah nama ! "What's in a name, That which we call a rose by another name would smell just as sweet." Yang terpenting apakah kita bisa bermanfaat bagi sesama manusia, sebab dengan tugas itulah kita dilahirkan.

Mang Ucup
Email: mang.ucup@gmail.com
Homepage: www.mangucup.net

Selanjutnya......

Burn Out = Gosong Jiwa

Menjelang Hari Raya Lebaran ini banyak orang yang merasa "Burn Out", alias gersang semangat atau gosong jiwa. Bagaimana tidak capek, kita kerja siang malam dimana boro-boro uang lemburnya dibayar, dihargaipun tidak. Harga kebutuhan barang pokok semakin meningkat, hari lebaran pun sudah berada diambang pintu, tetapi tidak ada penghasilan tambahan yang bisa diharapkan. Sedang tagihan datang bertubi-tubi. Pasangan hidup dirumahpun bisanya hanya ngomel melulu, tanpa bisa dan mau mengerti perasaan maupun keadaan yang sedang saya hadapi. Jadi wajarlah kalau saya merasa seakan-akan kepala ini mau pecah !

Kata "Burn Out" itu sendiri diserap dari bahasa gaul Inggris yang bisa diartikan kelelahan fisik dan emosional. Kata tersebut pertama kalinya diungkapkan oleh seorang psikonanalis Jerman Herber Freudenberger pada tahun 1974.

Burn Out itu seperti juga api yang mulai meredup karena kehabisan bahan bakar. Hal ini bisa terjadi juga dengan manusia, dimana kita merasa seakan-akan tidak memiliki gairah maupun semangat hidup lagi. Rasanya tenaga maupun pikiran ini jadi kosong dan hampa.

Hal ini terjadi karena bukan hanya sekedar disebabkan oleh kelelahan fisik saja (physical exhaustion), tetapi juga oleh kelelahan emosional (emotional exhaustion), maupun kelelahan mental (mental exhaustion). Hal ini membuat orang jadi capek mikir, merasa jenuh, apatis, cuek dan masa bodo.

Gejala Burn Out lainnya ialah dimana kita merasa gagal, seakan-akan semua perjuangan kita itu sia-sia saja dan tidak ada artinya. Kita merasa diperlakukan tidak adil dan juga tidak dihargai. Hal inilah yang membuat diri kita menjadi kecewa berat dan stress dan kehilangan kepercayaan maupun harga diri.

Burn Out bukan hanya bisa terjadi di perusahaan saja, tetapi juga dilingkungan keluarga. Dimana sudah tidak ada rasa kasih lagi antara satu dengan yang lain. Rasa hubungan yang pada awalnya berkobar menyala-nyala begitu besar; akhirnya menjadi redup terbakar habis seperti juga lilin. Hal ini pada umumnya terjadi karena adanya kejenuhan dalam perkawinan, sehingga tidak ada komunikasi lagi antara satu dengan yang lain. Maklum segala jerih payah, pengorbanan yang diberikan itu boro-boro dihargai, waktu saja sudah tidak bisa/mau ia berikan lagi.

Berdasarkan penelitian dari Christine Maslach dan Michael P. Leister dalam bukunya: "The Truth About Burnout". Orang yang sedang mengalami Burn Out, pada umumnya ingin menyendiri, dan tidak ingin banyak bicara. Mereka ingin mencari ketenangan. Mereka tidak membutuhkan segala macam nasehat, sebab nasehat maupun usulan-usulan apapun yang diberikan; bisa disalah artiken sebagai kritikan. Masalahnya orang yang sedang mengalami Burn Out itu sangat sensitive sehingga mudah sekali tersinggung.

Berikanlah mereka waktu untuk menenangkan diri, dan jangan sekali-sekali memaksakan mereka untuk melakukan apapun juga misalnya "kapan mau kerja lagi?" ataupun mengajak mereka ke tempat-tempat Dugem seperti bioskop, Disco dsb-nya.

Sama seperti juga HP yang kehabisan batterie, untuk ini HP tsb butuh waktu untuk di charge lagi. Begitu juga dengan manusia yang mengalami Burn Out, mereka butuh waktu agar dapat memulihkan kembali semangat maupun gairah hidup mereka.

Sedangkan cara lainnya ialah dengan melakukan senam Tai Chi, sebab senam Tai Chi itu bukan hanya untuk kebugaran jasmani saja, tetapi juga rohani. Tai Chi merupakan meditasi gerak yang menyadi penyeimbangan atas meditasi duduk.

Mang Ucup
Email: mang.ucup@gmail.com
Homepage: www.mangucup.net

Selanjutnya......

Tuesday, September 25, 2007

Preman Jalanan

Oleh Budiarto Shambazy
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/25/utama/3855590.htm
=======================

Jadwal bus di kota yang teratur selalu tepat, kecuali jika terjadi force majeure. Beda dengan bus di Jakarta yang selama hampir setengah abad tak bisa diandalkan.

Busway, salah satu moda bus rapid transit (BRT), ingin mengakhiri penyakit itu. BRT disebut dengan quality bus karena tujuannya memberikan servis lebih baik.

Ia disebut rapid transit karena melayani jarak menengah-jauh, bukan jarak dekat. Ia cepat karena tak sering singgah di halte walau kecepatannya tak sampai 100 km/jam.

BRT ditentang karena butuh dana besar untuk membangun jalan khusus—misalnya BRT Orange Line di Los Angeles, Amerika Serikat. BRT Rapid, juga di Los Angeles, menambah kemacetan karena dioperasikan di jalan umum.

Makanya busway di Jakarta jalan pintas yang kontroversial sehingga warga Pondok Indah menentangnya. Hanya di sana ada sebuah jalan besar dihiasi patung-patung berlampu sorot.

Hanya di sana banyak portal, tong, atau polisi tidur. Anda pasti kesasar jika masuk Pondok Indah saat malam karena nyaris semua jalan ditutup portal.

Sebagian warga mengajukan class action terhadap pemerintah yang menaikkan tarif tol. Rakyat bukan hanya membiayai investasi pembangunan tol, PLN pun tiap bulan menagih biaya penerangan jalan.

Banyak yang tak tahu berapa kecepatan maksimal/minimal di tol. Akibatnya, mobil di belakang suka memencet klakson meski Anda benar karena spidometer menunjukkan kecepatan maksimal 80 km/jam.

Banyak juga mobil melaju di jalur paling kanan di bawah kecepatan minimal 60 km/jam. Mereka itulah yang justru suka ngedumel "jalan tol macet melulu".

Saat masuk terowongan mobil menyalakan lampu hazard yang kelap-kelip, bukannya "lampu besar". Saat tol macet, konvoi pejabat pun tak sungkan-sungkan ngebut di bahu jalan.

Kalau menabrak kucing, biasa sang sopir berhenti, mengelilingi bangkai kucing tujuh kali, dan berhenti menyetir 40 hari. Jika menabrak orang, ya lari.

Ketika lewat jembatan berpohon beringin sopir membunyikan klakson tiga kali sambil mengucapkan doa-doa "sakti". Kalau ada huruf tanda larangan berhenti di tepi jembatan, siapa yang peduli?

Hari Sabtu lalu, jalan protokol ditutup dalam rangka Car Free Day. Namun, Bang Yos meninjau pelaksanaannya dengan mobil.

Wagub baru dapat jatah Camry anyar dan para anggota DPRD kebagian Altis baru. Seorang anggota DPRD berkilah bahwa Altis itu untuk menjalankan "tugas perjalanan".

Jadi jalan itu milik siapa sih? Walau semua aturan menyebut "jalan umum", semua merasa paling berhak.

Cepék man penguasa tikungan, bukan polisi. Tak sedikit orang penting menutup jalur lambat di depan rumahnya dengan portal seolah-olah milik pribadi.

Jalan adalah "lajur politik". Ia bak taman bermain bagi tiap aktor untuk mempraktikkan politik karena jalan lebih bergengsi ketimbang nongkrong di istana atau ngelamun di Gedung MPR/DPR.

Jalan efektif untuk tiap jenis perjuangan. Ia jadi "tujuan wisata" utama pengunjuk rasa dan juga sarana ampuh untuk menarik simpati dari rakyat.

Di jalanlah demonstran meneriakkan demokrasi, meski metromini yang mengangkut mereka parkir seenaknya. Di jalanlah pendemo mengaku membela kepentingan umum, meski mereka membuang sampah sembarangan.

Kalau situasi tegang, aparat memblokade jalan karena demonstran menutup jalan. Kalau situasi sudah cair, giliran para pedagang bakso dan teh botol menguasai jalan.

Ingat, republik ini lahir di tepi jalan saat Proklamasi diucapkan di halaman rumah di Jalan Pegangsaan. Bangsa ini pecah juga di jalan akibat ulah Letkol Untung dan anak buahnya berkeliaran di jalan-jalan di Monas, Menteng, dan Kebayoran.

Periodisasi sejarah bangsa ini disimbolkan dengan proyek pembangunan jalan. Belanda membangun Anyer-Panarukan dan Orde Lama punya Jalan Jakarta Bypass bantuan dari AS.

Orde Baru terkenal suka membangun tol yang lebih mahal daripada Taj Mahal. Orde Reformasi masyhur berkat kultur "jalan-jalan" pejabat/politisi yang rajin melawat/studi banding ke luar negeri.

Di republik ini kata jalan sangat politis. Bung Karno marah jika revolusi "berhenti di tengah jalan", Pak Harto minta rakyat berkorban demi pembangunan saat tanahnya digusur untuk pelebaran jalan.

Setelah Pak Harto tumbang, reformasi enggak pernah jalan. Kini kita suka merenung apakah ada jalan keluar atau jalan pintas agar republik ini selamat?

Jenderal Besar AH Nasution penggagas ideologi "Jalan Tengah" yang kebablasan jadi Dwifungsi ABRI. Rakyat yang kecewa lebih percaya kepada "parlemen jalanan" daripada parlemen beneran.

Pengendara di Ibu Kota sering tak tahu penyebab jalan macet total. Sampai kini tak ada yang tahu kenapa republik gégér gara-gara pelatih karateka dipukuli polisi Malaysia ketika sedang jalan-jalan.

Aparat keamanan tak hafal nama jalan tempat Nurdin Halid ditangkap. Maklum di Menteng ada puluhan nama jalan, mulai dari nama pulau, kota, sampai pahlawan.

Di antara kita banyak preman jalanan. Mereka tak tumbuh normal karena "besar di jalan".

Mereka doyan nongkrong daripada kerja, suka berwacana daripada tutup mulut, dan tak jantan alias gemar keroyokan. Sungguh kasihan.

Selanjutnya......

Jago Bela Diri

Oleh Budiarto Shambazy
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/04/utama/3798768.htm
==========================

Ada surat elektronik ke rubrik ini yang ingin tahu duduk perkara penganiayaan pelatih karate Donald Colopita. Ada yang tanya, kok kita jarang marah jika TKW tewas di luar negeri, saya jawab bedinde di sini enggak baca manual demo ala Melayu.

Di mana-mana polisi suka main gebuk seperti di film Hollywood. Bukan cerita baru istilah Indon berkonotasi negatif di sanaâ?"sama seperti kalau kita bilang "dasar Melayu".

Di Jakarta sering terdengar kejahatan imigran Afrika, mulai dari narkoba sampai penipuan dollar. Pemerintah Nigeria, Kamerun, atau Pantai Gading masa bodoh warganya disiksa polisi di sini.

Grafik hubungan RI-Malaysia naik turun sejak konfrontasi awal 1960-an. Kedua bangsa "serumpun" meski sejarah dan sistem politiknya bagai siang dengan malam.

Malaysia dijajah Inggris yang sistem kolonialismenya "bagus" dibandingkan Belanda yang "kejam". RI berjuang untuk merdeka, tanggal kemerdekaan Malaysia mesti dapat persetujuan dari Inggris dulu.

Mereka monarki konstitusional: Yang Dipertuan Agung simbol, pemerintah dipimpin PM. Kita republik yang kini suka dipelésétkan jadi "rekiplik" saking kacau-balaunya.

Konstitusi di sana menyebut Islam agama resmi, tetapi judi diizinkan di Genting Highland, meskipun hanya untuk warga Malaysia non-Islam dan warga asing. UUD 1945 secara implisit menyebut RI negara sekuler, tetapi masih ada yang mau memperjuangkan "Allahtokrasi".

Politik di Malaysia tergantung dari hubungan antarpuak yang hipersensitif karena perimbangan etnis nyaris setara antara Melayu, China, dan Tamil. Kerusuhan 1969 menewaskan ribuan puak China yang mendominasi ekonomi.

Sejak itu tak ada lagi kerusuhan berkat stabilitas yang dikendalikan "kartel parpol" Barisan Nasional. Ekonomi Malaysia sukses karena, misalnya, praktis tak terlalu terganggu krismon 1998.

Di sini jumlah puak kelewat banyak dan pola hubungannya sukar diatur. Kerusuhan di sini bukan cuma gara-gara ketegangan antarpuak, tetapi juga "bisa diatur".

Di sini bukan cuma ada "kartel parpol", tetapi juga BLBI, pembunuh aktivis, sampai "minah" (minyak tanah). Di bawah kartel ada mafia: peradilan, tanah, sampai urine bebas narkoba untuk lulus tes IPDN.

Asal Anda tahu, istilah run amok lahir dari pengalaman buruk Inggris menghadapi amuk massa. Orang-orang bulé bingung Melayu kalau marah kayak orang kesurupan.

Kini yang sering ngamuk bukan mereka, tetapi tetangganya. Negeri mereka aman, banyak turis asing menyaksikan "Truly Asia", atau melihat Menara Petronas yang sebagian gedungnya dibangun TKI dari sini.

Kita sebal mendengar nama gembong teroris seperti Dr Azahari atau Noordin M Top yang asal Malaysia. Negara mereka bahkan jadi tempat rapat-rapat penting Al Qaeda sebelum tragedi 11 September.

Namun, mereka enggak pernah jadi korban terorisme. Meski beberapa pejabatnya diperlakukan tak senonoh saat masuk ke Amerika Serikat (AS), Washington-Kuala Lumpur menyepakati perjanjian perdagangan bebas bilateral.

Lomba F1 di Sepang tak pernah sepi, menyenangkan, dan bebas macet. Di sini lomba F3 memaksa Presiden naik motor karena Tol Jagorawi macet total.

Sekitar 10 tahun lalu saya pernah sepesawat ke New York (AS) dengan Abdullah Badawi yang kala itu jadi menlu. Ia menénténg tas sendiri, menunggui kopernya sendiri, dan mencari taksi sendiri.

Dan berbicara tentang Deplu, diplomat Orde Baru dididik jadi jagoan drafting sidang internasional. Semua senang bicara politik luar negeri bebas-aktif dan bangga RI jadi ketua forum itu atau ini.

Mereka enggan mengurus imigran, tetapi doyan memeras upah mereka. Bukan mustahil polisi Malaysia serampangan karena tahu Kedutaan Besar RI malas membela nasib TKIâ?"apalagi yang keléléran.

Malaysia punya kapal-kapal selam modern, RI negeri bahari yang tak mampu menjaga lautannya sendiri. Kuala Lumpur mencampur skuadron jet tempurnya dari mancanegara, militer RI pincang jika AS memberlakukan embargo.

Malaysia Airlines tak mau kalah dari SQ, Air Asia makin mantap di sini. Di harian ini terungkap kenapa maskapai-maskapai kita suka mengalami kecelakaan: sogok, suap, dan korupsi di Dephub.

Banyak yang masih percaya mendagri harus militer, teori yang amat usang. Hasilnya penyakit di IPDN atau birokrasi: penuh manusia yang tak punya hati.

Lihat kegagalan sosialisasi kompor gas atau kenaikan tarif tol mulai dini hari tadi. Tarif naik, transportasi naik, sembako naik, dan tekanan darah rakyat pun ikut-ikutan naik.

Sudah tahu mau Ramadhan, pemerintah malah bercanda sih? Namun, ada kalangan penyabar yang bilang para pejabat bekerja mati-matian demi memperbaiki nasib bangsa ini.

Seorang teman golongan tak peduli berpendapat pemerintah ataupun rakyat berjalan sendiri-sendiri.

Ada kelompok pasrah, "Mau apa lagi? Kalau dipikirin malah sakit hati". Kita pasrah, penyabar, atau tak peduli?

Itulah kita, setiap hari menyangkal diri sendiri. Kita tak kenal lagi wajah kita setiap bercermin sehabis mandi pagi.

Ayah dipecat karena korupsi, lalu pulang menempéléng istri. Lalu giliran ibu menjitak kepala anak, yang karateka ban putih.

Anak lari ke rumah sebelah, langsung mengirim tendangan maegeri ke muka temannya sendiri. "Eh, gua salah apa nih," ujar si teman yang tak sempat membela diri.

Selanjutnya......

Monday, September 24, 2007

Orang-orang Media

Oleh Mohamad Sobary
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/23/persona/3857213.htm
=====================

Sebuah negara bisa hidup tanpa media. Tapi, bangsa tidak. Negara yang dipimpin pemerintah otoriter bisa menipu diri karena memiliki "media-mediaan" yang hanya bisa menjilat dan memuja segenap sepak terjang pemerintah. Tapi, sebuah bangsa punya hati nurani yang membuatnya menolak penjilatan.

Media itu aset bangsa. Dia bukan hanya milik kita orang-orang media. Aset ini mahal. Media bisa mencapai tahap kebebasan seperti sekarang ini karena perjuangan penuh dedikasi dan pengorbanan banyak pihak.

Dengan kata lain, kita berutang kepada para aktivis, para intelektual, penulis, seniman, budayawan, ahli komunikasi massa, dan juga kepada pihak lain yang menaruh peduli akan kebebasan ekspresi melalui media. Mereka pernah dibikin menderita, "diinteli", diteror, hilang atau mati karena ikut membela media meskipun secara pribadi mereka tak memperoleh keuntungan langsung.

Tapi sekarang, kita, orang-orang media, melupakan sejarah ini. Media seolah hanya milik kita. Sering kita pongah, seolah media sebuah dunia lain, mandiri, dan mutlak merdeka dari campur tangan pihak lain. Seolah kita makhluk Tuhan dari ras yang lain sama sekali dari mereka yang bukan orang-orang media.

Kita sering—mungkin diam-diam—merasa eksklusif. Tapi, sering pula—ini juga diam-diam—kita tidak konsisten. Terhadap Anda, yang bukan apa-apa, dan bukan siapa-siapa, dengan enak orang media ibaratnya melangkahi Anda tanpa permisi, atau tak peduli sama sekali seolah Anda tak layak ditegur. Tapi, bila Anda penulis (apalagi terkemuka) atau pengamat (biarpun tak bisa berpikir jernih lagi), atau seniman besar, saya jamin di depan Anda kami akan membungkuk sedalam-dalamnya.

Juga kalau Anda orang penting, berkedudukan tinggi, dan merupakan sumber berita. Memang tak jarang kita juga akrab dengan orang-orang biasa, yang kreatif, dan tampil beda dari orang-orang lain. Mereka pun dihormati sebagai sumber berita. Tapi hanya itu.

Memang harus dilihat secara jernih bahwa media banyak jenisnya. Ada yang menjaga kredibilitas begitu rupa hingga ibaratnya noda setitik pun tak dibolehkan menempel di "badannya". Kita angkat topi kepada mereka. Dan, saya pun bersedia membungkuk hormat karena ia layak dihormati.

Tapi, tak semua media yang pernah punya kredibilitas mampu mempertahankannya. Alih generasi, pergantian zaman, dan pergantian orientasi jurnalistiknya, bisa membuat media tak lagi terlalu terhormat di mata publik. Apalagi media yang hadir semata untuk mengintip peluang bisnis. Di dalam media jenis ini orang-orangnya tak tampak memelihara kredibilitas, tak menjaga idealisme, dan juga tak merasa penting memelihara sikap kritis.

Tentu saja kita harus tahu pula media bukan makhluk seputih salju di atas batu hitam. Dan, di muka bumi ini memang tak ada media seperti itu. Di sini, di zaman kebebasan pers ini, kita orang-orang media, dengan sikap para true believers, memelihara formula good news is bad news secara agak fanatis.

Bisa saja hal itu terjadi karena kita kurang matang, tapi tak mustahil karena tidak kreatif dan belum punya kecanggihan mengolahnya menjadi sesuatu yang enak dan memberi pembaca pencerahan tanpa setitik pun menodai prinsip-prinsip jurnalistik.

Kita, orang media, memandang kebebasan pers sebagai mantra suci, sehingga demi kebebasan pers itu kita tak terlalu menyesal telah melukai manusia dan kemanusiaan. Kebebasan pers telah membuat kita merasa di atas siapa saja hingga tampak sekali dewasa ini bahwa kelihatannya tak ada orang yang patut kita hormati. Tak ada dirjen atau sekjen, bahkan menteri, yang kita handle with care.

Ada sikap populis yang membara, di bawah payung kebebasan pers tadi, yang membuat sebagian kita, orang media, mudah memburu orang tertentu yang dicurigai menyimpang, sehingga pagi-sore, siang-malam orang itu kita beritakan terus-menerus sampai harga dirinya habis tandas, seolah kita tak mungkin selingkuh dari kesucian profesi.

Ini menjadi fenomena kebudayaan kita karena kita bangga akan profesi yang mulia itu, mabuk kredibilitas, dan sikap populis atau hanya karena kementahan sikap politik dan tak adanya wisdom dalam diri kita? Sikap mengandalkan hak jawab—bahwa orang boleh membantah—di negeri ini bukan jawaban yang cukup adil.

Banyak orang yang doyan sensasi sehingga lebih dari sembilan puluh sembilan persen hak jawab telah kehilangan fungsi dan relevansinya untuk meluruskan apa yang terlanjur kita bikin melengkung..

Ada bahkan di antara kita yang berkata bahwa dirinya sudah terbiasa menghadapi keluhan sumber berita atau pihak lain yang dirugikan. Ada terselip rasa bangga di sana. Sulit saya memahami apa gunanya bangga dalam perkara—sengaja atau tidak—membikin pihak lain kecewa?

Media memang bukan lembaga suci dan kita orang-orang media bukan malaikat. Tapi, kalau kita agak rendah hati, dengan sikap cermat, dan hormat pada orang seperti kita hormat pada diri sendiri, saya kira media tak akan dicap angkuh, sebagai lembaga yang tak tersentuh kritik. Ini merugikan kita sendiri.

Kita bangga menjadi pilar ke empat demokrasi. Kita bangga menjadi polisi moral yang gigih meluruskan pihak lain. Tapi mengapa kita biarkan diri kita menodai diri dari dalam, dengan sikap yang agak kelihatan jelas membuat kita begitu arogan, angkuh, dan tak tersentuh?

Selanjutnya......

Saturday, September 22, 2007

Bulan dan Cendol

Oleh BUDIARTO SHAMBAZY
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/22/utama/3861228.htm
======================

Presiden Bank Dunia Robert Zoellick adalah seorang tokoh yang menyiapkan Project for the New American Century, kelompok penganjur serbuan ke Irak. Ia adalah seorang neokonservatif, seperti orang yang digantikannya, Paul Wolfowitz.

Pada era Presiden George WH Bush, Zoellick menjadi Wakil Menlu Urusan Ekonomi dan Pertanian. Di era Presiden George W Bush, ia adalah Wakil Perdagangan Amerika Serikat, lalu Presiden Bank Dunia.

Zoellick "pembuat berita" setelah meluncurkan StAR (Prakarsa Pemulihan Aset Curian). Saya malu jadi orang Indonesia karena Pak Harto pencuri aset terbesar versi StAR.

Saya malu Bung Karno diperlakukan bak narapidana. Saya malu Pak Habibie lebih suka tinggal di luar negeri.

Saya malu Gus Dur diturunkan dari jabatannya. Dan, saya malu Pak Presiden mau menemui Zoellick di New York—ia "kecil" untuk berhadapan dengan Presiden kita.

Menurut saya, StAR tak lebih dari "isu hiasan" untuk mengalihkan perhatian dari kegagalan di Irak. Presiden Bush perlu berbagai prakarsa baru untuk menegaskan hegemoni AS sebagai adidaya.

China calon adidaya baru, Rusia sedang mengembangkan sayap. Itu sebabnya Bush menggelar tameng misil di Eropa Timur, mengembangkan "Star Wars" lagi, dan "cari muka" dari Dunia Ketiga lewat StAR.

Wolfowitz sering berbicara tentang tekad memberantas korupsi di Dunia Ketiga. Ironisnya ia mundur karena terlibat korupsi gara-gara hubungan asmara dengan Shaha Riza.

Menurut StAR, Pak Harto mencuri 15 miliar-35 miliar dollar AS atau Rp 135 triliun-Rp 315 triliun. Jumlah itu fantastis karena jauh di atas urutan kedua, Presiden Filipina Ferdinand Marcos yang berjumlah Rp 45 triliun-Rp 90 triliun.

Kalau mau realistis, negeri ini sudah 10 tahun berkutat dengan korupsi Pak Harto. Prosesnya mirip dengan lelucon tanpa akhir, termasuk diumbarnya detail kesehatan Pak Harto walau rahasia pasien mesti dijamin.

StAR mengungkap "10 pencuri aset terbesar". Selain Pak Harto dan Marcos di urutan 3-5 ada Presiden Zaire Mobutu Sese Seko, Presiden Nigeria Sani Abacha, dan Presiden Yugoslavia Slobodan Milosevic.

Lalu urutan 6-10 Presiden Haiti Jean-Claude Duvalier, Presiden Peru Alberto Fujimori, PM Ukraina Pavlo Lazarenko, Presiden Nikaragua Arnold Aleman, dan Presiden Filipina Joseph Estrada.

Selain "10 pencuri aset terbesar" itu, Konvensi PBB Membasmi Korupsi (UN Convention Against Corruption/UNCAC) menyebut pencuri aset lain, yakni mantan Presiden Cile Augusto Pinochet yang menyimpan 10 ton emas di Hongkong. Aneh, Zoellick tak menyebut Reza Pahlevi, Syah Iran, sebagai pencuri aset.

Mereka memiliki persamaan, yakni dituding sebagai pencuri setelah tak berkuasa lagi. Sewaktu berkuasa mereka didukung negara-negara maju di Barat dan juga oleh Bank Dunia serta IMF.

Mereka didukung karena sebagian besar jenderal yang antikomunis. Mereka dibanjiri dana "bantuan ekonomi" yang dirancang Barat yang tidak gratis, yang bernama utang luar negeri.

Utang luar negeri disalurkan dengan berbagai syarat ketat, termasuk melibatkan berbagai multinational corporation (MNC) Barat mengerjakan proyek pembangunan yang tak perlu dan boros. Rezim Dunia Ketiga kebagian "kue pembangunan" yang menciptakan kleptokrasi yang tamak.

"Prestasi" rezim dipuja-puji, utang ditambah tiap tahun, dan rakyat makin miskin. Tatkala sang rezim tak mampu lagi membayar utang, ia melégo sumber-sumber daya alam negaranya.

Ketika rezim kehilangan legitimasi karena penguasa jadi diktator, Barat mulai meneriakkan demokrasi dan jadi pahlawan pembela rakyat. Barat menyuplai senjata dan dana kepada gerilyawan/LSM untuk menjatuhkan sang penguasa.

Okelah StAR atau UNCAC penting dimaknai, tetapi lebih penting lagi memerangi korupsi di dalam negeri. Korupsi di sini semakin, maaf, tidak beradab dan pemberantasannya "tebang pilih".

Dalam laporannya tahun ini, UNCAC menyebut korupsi di Aceh. "Setelah tsunami 2004 ada janji bantuan 7 miliar dollar AS, tetapi penyaluran dana itu lambat karena korupsi," kata laporan itu.

"Di Aceh diperkirakan 30-40 persen bantuan telah dicuri. Seperempat dari 50.000 rumah yang dibangun untuk korban sudah roboh dan harus dibangun kembali karena 70 persen bahan kayunya tak memenuhi syarat dan tak akan bisa bertahan dalam 12 bulan," lanjut laporan itu.

Korupsi Orde Baru tak dilakukan Pak Harto saja, tetapi juga melibatkan mereka yang kini berada di berbagai lapisan kekuasaan. Misalnya, ada dimensi baru penyidikan korupsi Asabri dan lihat saja perlakuan DPR, Golkar, PSSI, dan aparat terhadap Nurdin Halid.

Rakyat sebenarnya berharap kecipratan dana minimal Rp 135 triliun yang konon dicuri Pak Harto. Masih segar dalam ingatan rekening Tommy Soeharto singgah ke rekening Dephuk dan HAM dan penyelesaiannya tak jelas sampai kini.

Jika pecahan Rp 100.000 disambung-sambung, Rp 135 triliun itu panjangnya 2.025 juta kilometer. Kalau uang itu dibawa dari Bumi ke Bulan untuk dipajang menghiasi langit, diperlukan lima kali peluncuran roket Rusia, Soyuz, dari Pulau Biak.

Andaikan dibelikan cendol untuk buka puasa bareng, Rp 135 triliun tersebut niscaya dapat dinikmati setiap warga negeri ini tanpa kecuali. Dan, setiap orang masih bisa tambah semangkuk lagi!

Kalau Anda enggak percaya, hitung saja sendiri.

Selanjutnya......

Friday, September 21, 2007

Bukan Pengibar Bendera

Oleh BUDIARTO SHAMBAZY
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/01/utama/3796877.htm
====================

Salah satu pasien dokter ahli saraf di Jakarta Pusat adalah mantan Deputi Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim yang diciduk polisi 29 September 1998. Pengadilan menuduh Anwar melakukan korupsi dan sodomi.

Pengadilan juga menyidangkan Inspektur Jenderal Polisi Rahim Noor yang menyiksa Anwar selama mendekam di penjara. Sampai kini Anwar berobat ke sang dokter tersebut karena saraf punggungnya sakit cukup parah.

Polisi menganiaya pelatih karate Donald Luther Colopita. Bagi sebagian orang, maaf PM Abdullah Badawi sudah cukup, tetapi sebagian lagi mendesak pemerintah lebih tegas lagi terhadap Malaysia.

Dalam diplomasi ada opsi-opsi pembalasan dengan berbagi risiko. Salah satu risiko, bagaimana nasib minimal 1,8 juta warga RI, belum termasuk pendatang gelap, yang bekerja di Malaysia?

Imigran asing selalu jadi soal pelik. Presiden Amerika Serikat (AS) George W Bush membangun tembok untuk mencekal pendatang, Eropa pusing menghadapi imigran Afrika dan Asia.

Imigran merebut lowongan kerja dan dianggap kurang peka. Budaya serta etos kerja mereka dilecehkan, mereka sering mengalami diskriminasi.

TKI di Malaysia bukan hanya jadi sasaran warga di sana, tetapi juga orang-orang di KBRI. Sudah jatuh, mereka tertimpa tangga pula.

Banyak TKI tewas dianiaya majikan. Berkas perkara korupsi mantan Duta Besar RI untuk Malaysia dan mantan pejabat Kantor Imigrasi sebentar lagi diajukan ke pengadilan.

Majikan mudah bebas dari ancaman hukuman. Sang mantan duta besar dan mantan pejabat Kantor Imigrasi melakukan pemerasan terhadap TKI.

Pemukulan terhadap Donald menimbulkan reaksi keras. Muncul lagi "nasionalisme bendera" (flag waving nationalism) yang emosional, mulai dari demonstrasi sampai sweeping warga Malaysia di sini.

Nasionalisme bendera bersifat chauvinistic dan anti-asing. Ia dilecehkan akal sehat, termasuk saat sebagian rakyat AS menghadapi situasi pascatragedi 11 September.

Di Inggris nasionalisme bendera hanya ada di lapangan sepak bola. Darah penggemar langsung mendidih kalau timnas Inggris menghadapi Argentina.

"Here we go, here we go/Where is your navy?/At the bottom of the sea". Ini merujuk ke perang pada awal 1980-an ketika kedua negara terlibat pertikaian kepemilikan Pulau Malvinas.

Penonton fanatik Jerman hanya bisa berteriak "Deutchland, Deutchland" di stadion sepak bola saja. Soalnya kalau teriak di tempat yang salah, mereka dicurigai mau menghidupkan Nazi kembali.

Sayang timnas RI selalu kalah. Maka, nasionalisme bendera kadang kala muncul tiba-tiba di jalan-jalan protokol Ibu Kota.

Nasionalisme bendera tak ubahnya flu ringan yang cuma mendatangkan bersin. Ia seram kayak kuburan tanpa nisan dan tak logis seperti ayam hidup yang tak ada lagi kepalanya.

Saya tak suka nasionalisme bendera meski sejak di SD senang disuruh mengérék bendera dalam upacara. Jika harus memilih mengkhianati negara atau sahabat, saya pilih yang pertama.

Saya lebih suka patriotisme bukan karena saya tidak jualan bendera. Saya pilih patriotisme karena bicara tentang pengorbanan demi bangsa dan melarang pembunuhan antarsesama, apalagi cuma demi kepentingan pemerintah.

Patriot tewas di medan laga mempertahankan setiap jengkal wilayah negaranya. Patriot ogah bersiasat untuk menculik atau meracuni aktivis prodemokrasi yang tak suka pemerintah.

Patriot tak semata-mata setia kepada negaranya saja. Ia pun wajib setia kepada keadilan dan kemanusiaan karena sikap itulah yang justru membuat negara dan bangsanya kuat serta sejahtera.

Unjuk rasa patriot tak berlangsung di pinggir jalan dengan teriakan ke langit sampai suara hilang. Seorang patriot unjuk rasa dengan dedikasi sepenuh hati melalui pengabdian yang amat panjang.

Unjuk rasa patriot jauh dari unsur "demo pesanan". Ia tidak butuh sorotan kamera dan lampu-lampu kilat yang sinarnya menyilaukan.

Patriot tak perlu mati karena alasan-alasan sepele belaka. Apalagi kalau ada yang suruh meruncingkan bambu, lalu ke Ambalat menghadapi kapal-kapal perang Malaysia.

Patriot seperti Bung Karno menggalang sukarelawan dalam Konfrontasi pada awal 1960-an. Patriot sejati adalah Usman dan Harun, dua prajurit Korps Komando Angkatan Laut (KKO AL) yang melancarkan infiltrasi dan dihukum gantung di Singapura akhir 1960-an.

Patriotisme bermakna mendukung negara dan, jika perlu, membantu pemerintahan yang sah. Namun, patriot berani berbeda pendapat melawan penguasa yang menindas rakyatnya.

Patriot siap mempertahankan negaranya melawan pemerintah. Patriot berprinsip "jangan dibutakan patriotisme dangkal sampai takut menghadapi kenyataan" dan "salah ya salah, tak peduli siapa yang melakukannya".

Patriot tak perlu bendera, tetapi butuh beras, gula, sampai minyak tanah. Patriot rindu pemimpin yang bukan pemimpi, tak butuh pejabat berwatak penjahat, dan enggak suka penguasa-pengusaha.

Patriot enggak mau lagi mengibarkan bendera karena bangsa ini sudah lama merdeka. Usianya sudah 62 tahun, kalau manusia, sudah manula.

Patriot bertanya, "Apakah tol mahal di sini sama kayak Taj Mahal di India?" Apakah telah tiba saatnya mengibarkan bendera putih tanda menyerah?

Makanya jangan terlalu sering mengibarkan bendera. Kalau salah ikat, salah kérék, dan salah lipat, leher Anda tercekik tali tiang bendera.

Selanjutnya......

Thursday, September 20, 2007

Rekor Koruptor "Top Markotop"

Oleh M Fadjroel Rachman
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/20/opini/3857295.htm
====================

Ban Ki-moon, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, patut diacungi jempol karena ia meluncurkan program global Stolen Asset Recovery Initiative di Markas Besar PBB, New York (Senin, 17/9). Korupsi di mana pun di dunia, termasuk di Indonesia, adalah kejahatan terhadap umat manusia (crimes against humanity), bukan sekadar kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Dan yang terpenting, korupsi di suatu negara kini bukan lagi masalah negara itu sendiri, tetapi sudah menjadi kepedulian semua bangsa dan negara di dunia.

"From now on it should be harder for kleptocrats to steal the public's money, and easier for the public to get its money back," kata Antonio Maria Costa, Direktur Eksekutif UN Office on Drugs and Crime (UNODC), badan PBB yang bertanggung jawab atas program Stolen Asset Recovery (StaR) Initiative ini.

Alhasil, Soeharto dan keluarganya kini tak boleh buru-buru senang dengan putusan Mahkamah Agung yang mengganjarnya ganti rugi Rp 1 triliun atas kemenangannya terhadap majalah Time yang membeberkan kekayaan keluarga Cendana ini mencapai miliaran dollar AS, yang diduga hasil KKN selama berkuasa. Menurut versi StAR PBB, Soeharto menduduki peringkat pertama koruptor dunia, "menggelapkan" 15 miliar-35 miliar dollar AS.

Korupsi Soeharto

Indonesia ikut menandatangani UN Convention against Corruption (2003), tentu terikat menyukseskan program StAR. Kehadiran Adiyatwidi Adiwoso, Deputi Perwakilan Tetap RI untuk PBB, dan Arif Havas Oegroseno, Direktur Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri RI, menegaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) harus bergerak cepat menuntaskan kasus korupsi yang disorot Sekjen PBB Ban Ki- moon dan UNODC.

SBY harus bergerak cepat? Karena StAR Initiative PBB (Lihat http://siteresources. worldbank.org/NEWS/Resources/Star- rep-full.pdf) menegaskan fokus program pada sepuluh nama, high earning political leaders who have been accused of corruption and stealing from the people, yaitu (1) Soeharto, Indonesia (1967-1998), 15 miliar- 35 miliar dollar AS; (2) Ferdinand E Marcos, Filipina (1972-1986), 5 miliar-10 miliar dollar AS; (3) Mobutu Sese Seko, Kongo (1965-1997), 2 miliar-5 miliar dollar AS; (4) Sani Abacha, Nigeria (1993-1998), 2 miliar- 5 miliar dollar AS; (5) Slobodan Milosevic, Serbia/Yugoslavia (1989-2000) 1 miliar dollar AS; (6) Jean- Claude Duvalier, Haiti (1971-1986), 300 juta-800 juta dollar AS; (7) Alberto Fujimori, Peru (1990-2000), 600 juta dollar AS; (8) Pavlo Lazarenko, Ukraina (1996-1997), 114 juta-200 juta dollar AS; (9) Arnoldo Aleman, Nikaragua (1997-2002), 100 juta dollar AS; dan (10) Joseph Estrada, Filipina (1998- 2001), 78 juta-80 juta dollar AS. Yang terakhir ini malah sudah dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, sementara Soeharto masih bisa tertawa gembira ketika diberi tahu ia menang atas Time.

Pengumuman PBB seolah membenarkan laporan Time (Asia) yang menemukan harta Soeharto Inc senilai 15 miliar-73,4 miliar dollar AS. Keputusan MA jelas mengancam kebebasan pers nasional dan internasional, ketakberpihakan hukum, mengabaikan UU Pers, dan menihilkan investigasi empat bulan Time (Asia) di seluruh dunia melalui cover both sides.

Kebenaran investigasi Time (Asia), selain ditegaskan PBB, juga melalui tindakan Jaksa Agung Hendarman Supandji menyidangkan Yayasan Supersemar Soeharto dan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) Tommy Soeharto, selain upaya merebut uang Soeharto Inc, senilai 36 juta euro di BNP Paribas, cabang Guernsey, Inggris. Walaupun uang 10 juta dollar AS raib entah ke mana—dipulangkan atas bantuan dua mantan Menhuk dan HAM, Yusril Ihza Mahendra dan Hamid Awaludin, tak diusut sama sekali oleh Hendarman Supandji—tetapi arah investigasi Time (Asia), tindakan Jaksa Agung, dan ikrar Sekjen PBB Ban Ki-moon sejajar untuk melawan korupsi di seluruh dunia.

Korupsi itu kejahatan

Mimpikah mengejar harta koruptor kelas dunia? Filipina membuktikan ketegasannya, perlu 18 tahun memperoleh 624 juta dollar AS hasil korupsi Marcos yang disimpan di Swiss. Penulis bertemu Ketua Presidential Commission on Good Government (PCGG) Heydi Yorac (almarhum) di Manila. Ia mengatakan, "Soalnya bukan berapa lama atau berapa uang korupsi yang kembali, tetapi Filipina secara moral menegaskan korupsi itu adalah kejahatan. Korupsi itu salah."

Karena itu, SBY juga harus membentuk komisi nasional semacam PCGG untuk menuntaskan masalah Soeharto Inc. Rakyat dan dunia pasti mendukungnya.

Joseph Estrada, mantan Presiden Filipina (1998-2001)—pencuri kelas dunia urutan kesepuluh PBB dan hanya mencuri 78 juta-80 juta dollar AS uang negara—dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada Rabu, 12 September 2007 oleh Sandiganbayan, pengadilan khusus korupsi Filipina, yang persidangannya enam tahun lebih.

Kenapa korupsi adalah musuh umat manusia? Ban Ki-moon menegaskan, harta negara yang dikorupsi dapat membiayai program sosial dan infrastruktur publik. "Every 100 million dollars recovered could fund full vaccinations for 4 million children, provide water connections for some 250,000 households, or fund treatment for over 600,000 people with HIV/AIDS for a full year." Tentu korupsi Soeharto, jika berhasil dikembalikan ke kas negara, bisa menyelamatkan 120 juta rakyat miskin Indonesia, yang hidup dengan 2 dollar AS per hari, 40 juta pengangguran (tertutup dan terbuka), serta ribuan anak-anak busung lapar yang terancam maut di Nusa Tenggara Timur dan daerah-daerah lain hari ini.

M Fadjroel Rachman Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman Indonesia)

Selanjutnya......

Wednesday, September 19, 2007

Meredupnya Pamor IQ

Oleh NINOK LEKSONO
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/19/utama/3855839.htm
====================

"Sementara psikometrika menawarkan daya tarik semu fakta obyektif, sains baru membawa kita kembali ke dalam kontak dengan sastra, sejarah, dan kemanusiaan, dan—pada akhirnya—ke keunikan individu." ("The Waning of IQ", David Brooks, IHT, 15-16/9/2007)

Hingga hari ini pun masih banyak orangtua yang mengharapkan anak-anaknya pintar, terlahir dengan IQ (intelligence quotient) di atas level normal (lebih dari 100). Syukur-syukur kalau bisa jadi anak superior dengan IQ di atas 130. Harapan ini tentu sah saja. Dalam paradigma IQ dikenal kategori hampir atau genius kalau seseorang punya IQ di atas 140. Albert Einstein adalah ilmuwan yang IQ-nya disebut-sebut lebih dari 160.

Namun, dalam perjalanan berikutnya orang mengamati, dan pengalaman memperlihatkan, tidak sedikit orang dengan IQ tinggi, yang sukses dalam studi, tetapi kurang berhasil dalam karier dan pekerjaan. Dari realitas itu, lalu ada yang menyimpulkan, IQ penting untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi kemudian jadi kurang penting untuk menapak tangga karier.

Untuk menapak tangga karier, ada sejumlah unsur lain yang lebih berperan. Misalnya saja yang mewujud dalam seberapa jauh seseorang bisa bekerja dalam tim, seberapa bisa ia menenggang perbedaan, dan seberapa luwes ia berkomunikasi dan menangkap bahasa tubuh orang lain.

Unsur tersebut memang tidak termasuk dalam tes kemampuan (aptitude test) yang ia peroleh saat mencari pekerjaan. Pertanyaan sekitar hal ini kemudian terjawab ketika Daniel Goleman menerbitkan buku Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ (1995).

Sebelumnya, para ahli juga telah memahami bahwa kecerdasan tidak semata-mata ada pada kemampuan dalam menjawab soal matematika atau fisika. Kecerdasan bisa ditemukan ketika seseorang mudah sekali mempelajari musik dan alat-alatnya, bahkan juga pada seseorang yang pintar sekali memainkan raket atau menendang bola.

Untuk yang terakhir ini orang mudah mengingat karya Howard Gardner yang mengemukakan Teori Kecerdasan Berganda (Multiple Intelligences) dalam bukunya Frames of Mind: The Theory of Mutiple Intelligences (Basic Books, 1983).

Buku Gardner tampak berpengaruh besar karena setelah itu banyak pendidik yang lalu mengubah cara mengajarnya. Teori Gardner juga mengubah cara orang memandang IQ, dan juga persepsi tentang "menjadi pintar". Mungkin perubahan paling penting ada pada cara pandang guru terhadap murid. Setelah itu guru memberikan perhatian lebih besar terhadap apa yang bisa dikerjakan lebih baik oleh murid, dan bukan pada apa yang tidak bisa mereka kerjakan.

Buku-buku berikut Gardner, seperti The Unschooled Mind: How Children Think and How Schools Should Teach (Basic Books, 1991) dan Multiple Intellligences: The Theory in Practice (Basic Books, 1993) memberikan gambaran lebih jauh tentang bagaimana kecerdasan berganda bisa membuat para guru mengajar dan mengevaluasi murid dengan cara baru dan lebih baik (education world.com, 16/2/1998).

Dalam Frames of Mind, Gardner, guru besar di Universitas Harvard, menyebut tujuh macam kecerdasan: kecerdasan linguistik (kecakapan dan kepekaan terhadap arti dan tata kata-kata); kecerdasan logika-matematika (kecakapan dalam matematika dan sistem logika kompleks lainnya); kecerdasan musikal (untuk memahami dan mencipta musik); kecerdasan spasial (kecakapan "berpikir dalam gambar", untuk memahami dunia visual secara akurat, lalu mencipta kembali (re-create) atau mengubah (alter) dalam pikiran atau di atas kertas. Kecerdasan spasial berkembang besar pada seniman, arsitek, perancang, dan pematung.

Kecerdasan yang kelima adalah kecerdasan tubuh-kinestetik yang diperlihatkan dalam kemampuan menggunakan tubuh dengan terampil, baik untuk ekspresi diri maupun untuk mencapai satu tujuan. Penari, pemain sepak bola, aktor, termasuk sosok yang memperlihatkan jenis kecerdasan ini.

Yang keenam adalah kecerdasan antarpribadi (interpersonal), yakni kecakapan untuk memahami individu lain—suasana hati, keinginan, dan motivasinya. Pemimpin politik dan agama, orang tua dan guru yang arif, juga penyembuh, banyak menggunakan jenis kecerdasan ini.

Lalu yang ketujuh adalah kecerdasan intrapersonal, yakni kecakapan untuk mengerti emosi sendiri. Sejumlah konselor, juga novelis, menggunakan pengalaman pribadi untuk membimbing orang lain.

Kecerdasan kedelapan kemudian dimunculkan Gardner dalam percakapan dengan Kathy Checkley dalam satu wawancara Kepemimpinan Edukasional. Yang dimaksud di sini ternyata kecerdasan lingkungan (naturalis), yakni kecakapan untuk mengenali dan menggolong-golongkan tanaman, mineral, dan binatang, juga batuan dan rerumputan, atau flora dan fauna secara umum. Kemampuan untuk mengenali artifak budaya boleh jadi juga masuk dalam kecerdasan naturalis ini. Tentu saja sosok yang pasti unggul dalam hal ini adalah Charles Darwin.

IQ meredup

Dalam lingkup yang lebih luas itu, IQ—yang dalam satu masa pernah menjadi metode andal untuk menangkap kemampuan mental seseorang—kini tampak meredup. Dengan IQ, dulu banyak diyakini orang terlahir dengan ukuran cc mesin pengolah informasi tertentu. Yang pintar punya Daya Kuda lebih besar daripada yang rata-rata.

Sayangnya, kemudian diketahui masih ada yang belum memuaskan dengan IQ. Di luar penjelasan Gardner itu, orang sulit berkonsensus tentang kecerdasan. Ada yang berpendapat kecerdasan adalah kemampuan menyesuaikan diri terhadap lingkungan, dan lainnya beranggapan kecerdasan adalah kemampuan untuk berpikir secara abstrak, dan seterusnya.

Lalu ada pola aneh dalam paham itu. Misalnya, pada abad lalu, rata-rata IQ naik dengan laju 3 sampai 6 poin per dekade. Gejala yang dikenal sebagai Efek Flynn ini terukur di banyak negara dan berlaku untuk semua kelompok usia (David Brooks, "The Waning IQ", IHT, 15-16/9/2007).

Catatan lain adalah IQ banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Seseorang yang tumbuh di kehidupan miskin membuat kecerdasannya tumbuh buruk, kata Eric Turkheimer dari Universitas Virginia. Hal yang sama juga terjadi jika seseorang tumbuh dalam lingkungan yang secara emosional menekan.

Dengan berbagai catatan yang ada, IQ oleh Brooks disebut sebagai kotak hitam, yang bisa mengukur sesuatu, tetapi tidak jelas apa itu. Ia juga tak bisa digunakan untuk meramalkan apa yang akan dilakukan seseorang dalam hidupnya.

Para peneliti dewasa ini lalu mengalihkan perhatian, tidak lagi pada kekuatan otak semata. Menilai kecerdasan kini sudah tak lagi seperti mengukur tenaga kuda dalam sebuah mesin, tetapi lebih seperti menonton balet. Kecepatan dan kekuatan yang diperlihatkan penari adalah bagian dari kecerdasan, dan unsur itu bisa diukur secara numerik. Namun, intisari aktivitas balet hanya ditemukan dalam irama gerak, keanggunan, dan kepribadian, sifat yang merupakan produk campuran dari emosi, pengalaman, motivasi, dan keturunan.

Riset otak mutakhir, kata Brooks, sudah tidak lagi mereduksi segala hal ke dalam impuls listrik dan denyut yang bisa dikuantifikasi, tetapi pada segi yang justru meningkatkan penghargaan orang terhadap kompleksitas dan keragaman manusia.

Tampak bahwa IQ memang masih jauh dari mencukupi untuk memersepsikan seseorang. Potensi yang dikandung pada individu ber-IQ tinggi rupanya masih perlu dilengkapi dengan kecerdasan lain untuk menciptakan sukses tidak saja dalam karier, tetapi juga dalam kehidupan.

Selanjutnya......

Daftar 10 Pencuri Kekayaan Negara

http://www.kompas.co.id/ver1/Internasional/0709/18/225045.htm
======================

1. Soeharto (Indonesia) 1967-1998 kerugian negara: 15-35 miliar dolar AS

2. Ferdinand Marcos (Filipina) 1972-1986 kerugian negara: 5-10miliar dolar AS

3. Mobutu Sese Seko (Zaire) 1965-1997 kerugian negara: 5 miliar dolar AS

4. Sani Abacha (Nigeria) 1993-1998 kerugian negara: 2-5 miliar dolar AS

5. Slobodan Milosevic (Serbia/Yugoslavia) 1989-2000 kerugian negara: 1 miliar dolar AS

6. Jean Claude Duvalier (Haiti) 1971-1986 kerugian negara: 300-800 juta dolar AS

7. Alberto Fujimori (Peru) 1990-2000 kerugian negara: 600 juta dolar AS

8. Pavio Lazarenko (Ukraina) 1996 1997 kerugian negara 114- 200 juta dolar AS

9. Arnoldo Aleman (Nikaragua) 1997-2002 kerugian negara 100 juta dolar AS

10. Joseph Estrada (Filipina) 1998-2001 kerugian negara 70- 80 juta dolar AS

Selanjutnya......

Tuesday, September 18, 2007

Kisah yang Belum Terungkap (2)

Oleh BUDIARTO SHAMBAZY
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/18/utama/3853851.htm
====================

Berbeda dengan Indonesian Coup: the Untold Story karya Helen-Louise Simpson Hunter yang bersumber primer dari dokumen interogasi TNI AD, buku Surrendering to Symbols: US Policy Towards Indonesia 1961-1965 merupakan disertasi doktor. Buku ini ditulis Stig Aandstad dari Universitas Oslo.

Aandstad menggambarkan Gerakan 30 September (G30S) sebagai klimaks dari hubungan bilateral RI-AS (Amerika Serikat) dan/atau Bung Karno (BK) dengan Presiden AS John F Kennedy (JFK). Inilah hubungan berintensitas tinggi, turun-naik dalam periode 1961-1965, dan telah jauh terbina sejak 1945.

Justru karena hubungan khusus inilah sampai kini terdapat purbasangka bahwa AS-lah yang "menyetir" G30S dari Washington. Namun, sampai saat ini asumsi itu belum terbukti.

JFK menerapkan strategi ofensif dan defensif, antara lain untuk mengoreksi kesalahan Presiden Dwight Eisenhower. Strategi ofensif berupa bantuan ekonomi, strategi defensif mendukung kekuatan anti-PKI.

Kedua strategi dijalankan lewat berbagai kontak, mulai dari pemimpin sampai ke tingkat bawah. Namun, dalam periode September 1963-Februari 1964 strategi ofensif gagal.

Penyebabnya, perbedaan AS dengan Inggris dalam politik konfrontasi BK terhadap Malaysia, sikap anti-BK di Kongres dan media AS, serta meninggalnya JFK. Washington tak punya pilihan lain kecuali menjalani strategi defensif yang akhirnya tak efektif.

Kebencian Kongres dan media membuat tangan Presiden Lyndon Johnson terbelenggu. Sikap anti-AS di sini, yang antara lain disponsori juga oleh BK, makin hari makin berkobar.

Pemerintah AS juga direpotkan kesibukan baru, perang Vietnam yang menyita dana, waktu, perhatian, dan tenaga. Aandstad menyimpulkan strategi defensif AS sudah lumpuh pas pecahnya G30S.

Strategi defensif dirumuskan melalui Rencana Aksi (Action Plan) 1962, dokumen yang disiapkan setelah sukses membantu RI menyelesaikan masalah Irian Barat. Lewat Rencana Aksi, AS bertekad menerapkan "prakarsa baru, konsisten, dan terpadu" untuk mencegah RI jadi komunis.

AS menghendaki BK konsentrasi ke pembangunan ekonomi Barat lewat taktik stick-and-carrot. Secara terbuka, JFK bersahabat, tetapi diam-diam ia tak sungkan mengultimatum BK.

JFK juga memberikan bantuan kepada kekuatan-kekuatan anti-PKI, termasuk TNI AD dan mobrig (mobil brigade). Rencana Aksi juga banyak mengalirkan bantuan dana lewat US Information Agency (USIA) dan beasiswa.

Satu lagi butir Rencana Aksi adalah program stabilisasi Dana Moneter Internasional tahun 1963 yang digagalkan konfrontasi per Februari 1964. Sejak itu AS mengurangi kehadirannya di sini, sebaliknya bulan madu BK-PKI makin mesra.

Washington praktis menghentikan hampir semua bantuan per Agustus-September 1964. Kekuatan-kekuatan anti-PKI, seperti mobrig dan TNI AD, bahkan menghentikan kontak dengan mitra-mitra dari AS.

Histeria "kemenangan PKI" memaksa Kedutaan AS mengurangi diplomat sampai segelintir saja. Mereka cuma bisa menunggu terjadinya peristiwa yang selama berbulan-bulan beredar sebagai rumor: kudeta.

Namun, kudeta oleh siapa terhadap siapa? Berbeda dengan Hunter yang menarik kesimpulan G30S didalangi PKI, Andstaad menyajikan beberapa preposisi menarik.

Tiap hari pasti ada rumor CIA mau membunuh BK. BK pun secara terbuka menyatakan rasa curiga terhadap niat CIA, antara lain dengan mengutip isi buku The Invisible Government karya David Wise dan Thomas Ross tentang kebiasaan buruk CIA.

Namun, Kepala Stasiun CIA di Jakarta Hugh Tovar, Maret 1965, memberikan jaminan kepada BK tak ada operasi melenyapkan dia.

Dalam laporan 5 Januari 1965 Tovar menulis beredarnya rumor kudeta. "Mungkin kudeta terjadi sebelum 10 Januari.... BK tetap presiden, kekuasaannya dialihkan ke Chaerul Saleh", tulis Tovar.

Ada laporan CIA 21 Januari yang mengutip seseorang mengaku "menyiapkan rencana mengambil alih pemerintahan kalau BK mundur atau tutup usia. Dalam waktu 30-60 hari TNI AD bergerak melawan BK".

Pers di Jakarta sejak Januari 1965 sering memberitakan "kudeta terhadap BK" dan "Dewan Jenderal" mulai muncul di kalangan PKI. "AS tak tahu Dewan Jenderal", tulis Aandstad.

Menurut Aandstad, CIA tak terlibat G30S. Kalimat yang paling mendekati teori "keterlibatan CIA" ada dalam laporan mereka dari Jakarta, Februari 1965: "Ia (orang TNI AD) berpendapat AS bisa banyak membantu kalau perebutan kekuasaan terjadi", kutip Aandstad.

Menurut Aandstad, CIA tak terlibat G30S karena tiga penyebab. Pertama, akibat kegagalan di Teluk Babi (Kuba), JFK membatasi kegiatan CIA di kedutaan mancanegara.

Kedua, Direktur CIA William Raborn tak punya latar belakang intelijen yang diyakini mampu menggalang operasi besar di luar negeri.

Ketiga, 30 September 1965 CIA "tak kenal siapa Suharto". Mereka hanya tahu Pak Harto aktif dalam operasi konfrontasinya BK dan "lebih nasionalis" dibandingkan dengan jenderal-jenderal lain.

Dalam laporan tentang konfrontasi, nama Pak Harto tak pernah ditulis, sementara empat jenderal lainnya ditulis berkali-kali.

Selanjutnya......

Puasa dan Kejujuran

Oleh Salahuddin Wahid
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/18/opini/3853958.htm
=====================

Hadis Riwayat An Nasai, Baihaqi, Ibnu Huzaimah, dan Thabrani, dari Abi Ubaidah RA: "Saya mendengar Rasulullah bersabda, 'Puasa adalah perisai selama yang bersangkutan tidak merusak.' Lalu ada yang bertanya, 'Dengan apa merusaknya?' Jawab Rasulullah SAW, 'Dengan berbohong atau bergunjing.'"

Jadi, kejujuran adalah salah satu tujuan dan kunci keberhasilan puasa kita. Kita pun menjalani puasa Ramadhan dengan penuh kejujuran. Tidak ada orang yang memulai harinya dengan makan sahur, lalu di luar rumah dia secara sembunyi-sembunyi makan atau minum. Tentu kejujuran itu dijaganya tidak hanya dalam makan dan minum, tetapi juga dalam hubungan fisik suami istri.

Mengapa kita bisa menjaga kejujuran dalam masalah dan minum serta hubungan suami istri itu yang sifatnya personal, tetapi tidak (kurang?) bisa menjaga kejujuran dalam masalah lain yang juga menyangkut (merugikan) kepentingan orang lain? Padahal, setelah Indonesia merdeka, kita telah mengalami lebih dari 60 kali berpuasa Ramadhan. Pertanyaan tersebut patut diajukan kalau kita melihat praktik penyelenggaraan negara dan kenyataan dalam kehidupan masyarakat kita yang tidak menunjukkan indikator kejujuran yang jelas dan nyata.

Ada yang salah?

Maka, kita perlu bertanya apakah ada yang salah dalam cara kita berpuasa? Di mana salahnya dan bagaimana memperbaikinya? Tentu amat sulit untuk menjawab pertanyaan itu. Salah satu caranya ialah belajar dengan sungguh-sungguh untuk menerapkan perilaku jujur di dalam kehidupan kita sehari-hari.

Kejujuran adalah dasar dari kehidupan keluarga, masyarakat, dan bangsa. Kejujuran adalah persyaratan utama pertumbuhan dan perkembangan masyarakat yang berlandaskan prinsip saling percaya, kasih sayang, dan tolong-menolong. Kejujuran adalah inti dari akhlak yang merupakan salah satu tujuan dari diutusnya Rasulullah oleh Allah SWT (Innama buitstu li'utammima makaarimal akhlaq).

Seorang ulama menyatakan bahwa hakikat kejujuran ialah mengatakan sesuatu dengan jujur di tempat (situasi) yang tidak ada sesuatu pun yang menjadi penyelamat kecuali kedustaan.

Kejujuran tidak akan datang begitu saja, tetapi harus diperjuangkan dengan sabar dan sungguh-sungguh. Seorang ulama menegaskan bahwa ada beberapa faktor yang dapat membantu kita dalam mencoba meraih kejujuran. Pertama, akal yang wajib memandang buruk kedustaan, apalagi jika kedustaan itu sama sekali tidak mendatangkan kemanfaatan dan tidak mencegah bahaya.

Kedua, agama dan syariat yang memerintahkan untuk mengikuti kebenaran dan kejujuran serta memperingatkan bahaya kedustaan.

Ketiga, kedewasaan diri kita yang menjadi salah satu faktor pencegah kedustaan dan kekuatan pendorong menuju kebenaran.

Keempat, memperoleh kepercayaan dan penghargaan masyarakat. Ada sebuah kata mutiara: "Jadikanlah kebenaran (al Haq) sebagai tempat kembalimu (rujukanmu), kejujuran sebagai tempat keberangkatanmu, sebab kebenaran adalah penolong paling kuat dan kejujuran adalah pendamping paling utama."

Bukan puasa korupsi

Di sebuah koran saya baca pendapat B Aritonang (BPK) supaya kita puasa korupsi. Menurut saya, pendapat itu kurang tepat. Yang tepat ialah menghentikan korupsi dengan memakai puasa Ramadhan sebagai titik tolaknya. Kalau kita tidak juga mampu menjadikan puasa, yang sudah lebih dari 60 kali dijalani bangsa Indonesia, sebagai faktor pendorong untuk menanamkan kesungguhan meraih kejujuran, menurut saya kita tidak mampu menangkap makna dan esensi ibadah puasa. Kita hanya akan memperoleh lapar dan haus saja dari puasa kita, seperti sabda Rasulullah SAW di dalam sebuah hadis.

Kita juga perlu merenungkan teladan yang diberikan oleh Pak Waras yang mengembalikan uang Rp 429 juta kepada PT Lapindo Minarak karena itu bukan haknya. Dia hanya berhak menerima Rp 56 juta dan ternyata menerima Rp 485 juta. Sebagai penghargaan terhadap kejujurannya itu, Pak Waras menerima hadiah sebuah rumah lengkap dengan isinya. Sungguh suatu kontras dengan sikap sejumlah pamong desa yang konon memotong 20 persen dari dana uang muka (20 persen) uang ganti rugi yang diterima para korban, seperti yang diberitakan sejumlah media.

Kita hanya bisa mengatakan bahwa kita telah menang dalam menjalani ibadah puasa Ramadhan kalau kita mampu mengubah perilaku di dalam kehidupan keseharian kita selama sebelas bulan ke depan. Dari yang tidak jujur menjadi jujur, dari yang pemarah menjadi penyabar, dari yang serakah menjadi suka berbagi, dari yang sombong menjadi rendah hati.

Jadi, menilai kita menang atau tidak bukannya pada akhir Ramadhan 1428 H ini, tetapi menjelang Ramadhan 1429. Semoga kita mampu memanfaatkan Ramadhan 1428 H sebaik-baiknya.

Salahuddin Wahid Pengasuh Pesantren Tebuireng

Selanjutnya......

Sunday, September 16, 2007

Darurat

Oleh Ariel Heryanto
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/16/persona/3838334.htm
=================

Dengan prihatin kita ikuti berita gempa yang melanda Bengkulu dan pantai barat Sumatera. Namun, betapa pun besarnya simpati kita, ada kesenjangan di antara pengalaman para korban dan pemahaman kita yang hanya mengikuti laporan media massa tentangnya.

Sepintas lalu kelihatannya ini soal gamblang dan lumrah. Namun, ini yang sulit kita hargai dalam kesibukan sehari-hari. Kecuali bila tiba-tiba kita sendiri mengalami keadaan darurat itu. Seperti kesehatan, rasa aman, dan bahagia baru mudah dipahami sosoknya setelah mereka lenyap.

Sulit bagi saya memahami betapa beruntung kita yang tidak tertimpa bencana, hingga suatu saat ada pengalaman yang menyadarkan. Ini datang pada saya bulan lalu dalam bentuk gempa berskala 7,5 Richter yang berpusat di dasar Laut Jawa yang mengguncang sebagian besar wilayah Jawa.

Terjadi 10 menit lewat tengah malam, gempa itu mengguncang-guncang seluruh isi kamar saya di tingkat 20 sebuah hotel di pusat kota Jakarta. Saya terbangun, padahal saya termasuk orang yang tidak mudah dibangunkan oleh gangguan bila sudah terlelap. Beberapa menit pertama saya bersusah payah melawan kantuk dan mencoba memahami apa yang terjadi.

Yang jelas saya tidak sigap dan bisa segera menyelamatkan diri. Sementara gempa terus berlanjut. Benda-benda di kamar terguncang-guncang. Yang lebih mengerikan suara gemertak bangunan yang seakan-akan akan ambruk.

Sesudah menyadari situasi pun saya masih sangat lamban bereaksi. Bengong, terpaku di tempat berdiri. Sempat terpikir ajal saya akan datang dalam hitungan detik, atau menit, bersama ambruknya bangunan tinggi ini. Bagaimana sebaiknya memanfaatkan sisa usia yang pendek ini? Lari? Ke mana? Berlindung di sekitar kamar sambil terus menjadi saksi pemandangan aneh di depan saya?

Ketika saya bergegas keluar kamar, tamu-tamu lain berhamburan di koridor dalam pakaian tidur. Guncangan masih terasa, tetapi berkurang kekuatannya. Pintu keluar darurat tidak berhasil saya temukan, padahal tidak jauh.

Ternyata hotel itu tidak ambruk. Tidak ada orang terluka. Tidak juga ada laporan kerusakan berarti. Pengalaman itu saya ceritakan kepada Riri Riza yang bersama Mira Lesmana mengunjungi saya esoknya di hotel. Riri curiga jangan-jangan ada bagian bangunan yang retak di balik karpet yang indah di hotel itu.

Malam itu ketika para tamu berhasil mencapai lantai dasar hotel, tampak petugas hotel keheranan dan tak paham ada apa. Derita para tamu di lantai atas tidak bisa langsung dipahami mereka yang berada di lantai bawah. Apalagi mereka yang cuma mendengar berita ini dari jauh. Berita di media massa pun tidak bisa dramatis karena tidak ada korban atau kerusakan berat.

Gempa itu tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan yang di Bengkulu, apalagi Yogyakarta. Namun, pengalaman pribadi tidak bisa diraba dengan data statistik. Bagi yang mengalami langsung, gempa "ringan" bulan lalu itu bisa berlanjut dalam bentuk trauma. Seperti yang saya alami.

Di kamar hotel yang sama saya merasa gempa itu datang lagi ketika tidur malam. Terjaga, saya amati sekitar saya dan berusaha percaya tidak apa-apa. Saya mencoba tidur lagi. Beberapa menit kemudian kasur saya terasa bergetar lagi. Saya bangun lagi dan memeriksa sekitar saya. Mencoba lebih teliti. Namun, tidak ada apa-apa. Ini terulang terus beberapa jam.

Ada lagi yang mengkhawatirkan. Bukan gempanya sendiri, tetapi faktor manusia. Pelayanan hotel berbintang lima ini memuaskan dalam banyak hal. Namun, mereka tidak siap menghadapi keadaan darurat dan melindungi tamu mereka.

Ketika gempa tiba, tidak ada sirene, pengumuman, atau sistem petunjuk yang menandakan datangnya bahaya. Tidak muncul pemandu yang memimpin evakuasi para tamu ke tempat aman. Para tamu dibiarkan berlari menyelamatkan diri masing-masing. Untung malam itu para tamu berbondong ke arah yang sama. Bayangkan seandainya mereka menyebar ke berbagai arah.

Selama lebih dari 15 menit pertama para tamu berada di luar hotel dalam cemas dan kegelapan dan menunggu. Tidak ada seorang pun dari pihak hotel muncul menemui mereka. Tidak ada keterangan apakah gempa sudah berakhir, apakah tamu bisa kembali masuk kamar, atau sebaiknya menunggu dulu. Tidak ada tawaran bagi yang yang membutuhkan pertolongan.

Entah, sejauh mana hal itu biasa di Jakarta. Beberapa hari kemudian seorang rekan mengajak saya ke sebuah kompleks gedung bioskop terbaru dan termegah di Jakarta. Mata dimanjakan desain interior tempat ini, tetapi perhatian terpusat pada satu hal. Tidak jelas di mana ada jalur darurat untuk keluar yang mudah, aman, dan cukup lebar jika bangunan megah itu padat pengunjung di lantai atas dan tiba-tiba ada keadaan bahaya.

Indonesia pernah punya Bapak Pembangunan, tetapi tidak ada Ibu, Abang atau Tante Penyelamatan dari keadaan darurat. Bila Jakarta digempur gempa berkekuatan separuh saja dari yang menyerang Bengkulu, bisa dibayangkan berapa puluh kali lipat lebih besar korban nyawa dan kerusakan yang bisa diakibatkan.

Selanjutnya......

Belajar Faktor X

Oleh Budiarto Shambazy
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/15/utama/3834445.htm
==========================

Salah satu keuntungan PDI-P mencalonkan Bu Mega sebagai calon presi den adalah tersedianya waktu yang cukup. Parpol, capres, dan rakyat punya sekitar 21 bulan untuk ancang-ancang sebelum mencoblos pada Juli 2009.

Waktu 21 bulan lebih dari cukup untuk menyiapkan pengorganisasian kampanye. Rakyat makin leluasa menentukan pilihannya, apalagi sudah tahu kualitas Bu Mega.

Demokrasi tak menunggu siapa pun. Ia bisa dan harus dipraktikkan di sini dan saat ini juga. Tak ada istilah "demokrasi butuh waktu" atau "rakyat belum siap berdemokrasi".

Ada dua soal yang kait-mengait dan menarik dipahami setelah Bu Mega mencalonkan diri.

Soal pertama, rakyat bosan dengan mereka yang pernah jadi presiden sejak 1998 karena dianggap gagal. Selain Bu Mega, ada Pak Habibie, Gus Dur, dan Pak Bambang.

Sukar menilai Pak Habibie karena ia hanya meneruskan tugas Pak Harto sambil mengemban amanat reformasi. Ia berhak mengklaim sebagai orang yang, misalnya, memulai kebebasan pers. Namun, ia tak punya pilihan karena kebebasan pers amanat reformasi yang tak bisa ditunda lagi.

Gus Dur disebut berhasil mendemistifikasi kekuasaan istana yang terbiasa "sok suci". Sampai kini pun ia berperan mengoreksi kalangan yang antidemokrasi.

Bu Mega dinilai berhasil memperbaiki berbagai indikator ekonomi sebagai prasyarat terciptanya stabilitas politik. Ia berharap bisa "mendulang emas" dari cerita sukses ini tahun 2009.

Pak Bambang terpilih karena berhasil membuat rakyat berharap terhadap janji-janji perubahan yang ia tawarkan.

Soal kedua, keempat presiden itu dianggap gagal karena tak sanggupmenyamai prestasi Pak Harto. Muncullah fenomena "hidup lebih enak pada zaman Pak Harto".

Padahal, ini sekadar political escapism. Kerinduan terhadap Pak Harto hanya terucap di bibir berhubung hidup susah melulu walau hati kecil bilang enggak mau balik ke zaman dulu.

Saya tak menyalahkan komentar di media nasional tentang rasa bosan terhadap L4 (lu lagi, lu lagi) itu. Namun, apa iya pandangan itu mencerminkan aspirasi rakyat?

Ada pendapat yang mengatakan bangsa ini mengalami krisis pemimpin. Parpol, ormas, pemerintah, legislatif, dan berbagai institusi lain memiliki pola perekrutan untuk menjaring calon pemimpin. Masalahnya, mereka menghasilkan pemimpin yang tak punya kepemimpinan. Mereka hanya memproduksi ketua, bakal calon, jenderal, doktor, birokrat, atau profesional.

Mereka mampu menjalani tugas sesuai keahlian. Jika ada yang menggerakkan, mereka langsung bekerja dan negara ini bisa sembuh dari penyakit kronisnya.

Padahal yang dibutuhkan adalah a real leader, seorang (ya, cukup satu orang saja) pemimpin sejati. Dialah yang cocok memimpin bangsa ini sebagai presiden periode 2009-2014.

Sulitkah menemukan dia? Tak ada pekerjaan yang gampang, tetapi kalau mau, selalu ada jalan keluar dari setiap masalah.

Dan, ini yang penting, syarat-syarat jadi pemimpin tidaklah susah. Anda tanya anak SD, ia pasti akan dengan lancar menjawabnya.

Sebenarnya semua orang bosan mendengar syarat itu karena isinya mengulang-ulang saja. Misalnya, salah satu syarat pemimpin adalah harus jadi panutan.

Ia mesti jujur pada diri sendiri dan orang lain, tak menyalahgunakan kekuasaan, bebas korupsi, tak merasa di atas hukum, dan seterusnya. Anda pasti merasa semua ini gombal, tetapi itulah kenyataannya.

Saya masih yakin bangsa ini mencintai pemimpin yang memberikan teladan. Alhasil, tugas sang pemimpin akan lebih mudah.

Namun, kepemimpinan itulah yang justru absen. Contohnya, para pemangku jabatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif tak memiliki kepekaan sosial di tengah kesulitan hidup masyarakat.

Eksekutif menaikkan tarif tol, legislatif sibuk dengan desain Gedung DPR Rp 40 miliar, dan tunjangan bulanan Ketua MA dinaikkan sampai Rp 50 juta. Delegitimasi terjadi karena semua urusan di republik ini ternyata "UUD" (ujung-ujungnya duit).

Ibarat anak balita, suhu politik sudah kelewat tinggi dan membuat negara ini stép. Ngeri membayangkan apa yang akan terjadi kalau semua anomali ini saling tabrak saat mencapai klimaks dalam kampanye 2009.

Salah satu keuntungan Bu Mega dicalonkan dini, ia jadi katup pelepas frustrasi sosial secara rasional dan bertahap. Lebih cepat Golkar, PKB, atau PPP mengumumkan capres akan lebih baik karena massa mereka sudah dewasa dan rasional.

Pengumuman dini capres juga berpotensi mengurangi kemungkinan mobilisasi (persuasi atau intimidasi) terhadap pemilih di pedesaan. Ia mujarab mengobati kekecewaan kaum golput yang jumlahnya signifikan saat Pemilihan Gubernur DKI.

Namun, politik di sini justru sering ditentukan oleh "faktor x". Ia bilangan yang sukar dijawab kayak rumus matematika, kurang masuk akal seperti cabang olahraga x-treme, dan misterius bagai serial The X Files.

Apalagi rakyat merasa lebih pintar dibandingkan dengan pakar-pakar doktor pintar atau dukun-dukun yang diyakini para politisi sebagai golongan yang paling pintar. Bahkan, rumah, mobil, dan motor zaman kini sudah pintar.

Percuma mereka-reka siapa presiden yang menang karena menang di republik ini belum berarti mampu dan kalah hanya bermakna kurang suara. Lagi pula selama sepuluh tahun terakhir bangsa ini telah terbiasa kecewa.

Selanjutnya......

Antisipasai

Oleh Samsudin Berlian
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/14/utama/3830731.htm
===================

Akhir-akhir ini antisipasi naik daun dan sering dipakai dalam media massa dengan arti yang sekilas mirip tapi sebetulnya berseberangan dengan makna semulanya. Banyak komentator sepak bola senang menyatakan bahwa kiper Han Daal berhasil mengantisipasi tendangan keras penyerang Jack Gowan. Mungkin mereka sudah membaca Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan contoh serupa itu. Kompas (31/8) memajang judul besar di halaman 17, "Antisipasi Kekacauan Penyeberangan Disiapkan", untuk berita tentang upaya mengatasi kemacetan penghubung Sumatera-Jawa.

Kata kerja to anticipate punya beragam arti karena pemakaiannya yang luas. Menurut Webster ia bisa berarti: menyadari, memikirkan, melihat, melakukan, atau merasakan sebelum sesuatu terjadi (Mata Mulyo berbinar mengantisipasi sambutan hangat bakal mertuanya); menunggu-nunggu (dengan yakin); melakukan (sesuatu) sebelum orang lain melakukannya; melaksanakan (kehendak orang) sebelum (kehendak itu diutarakan) (Wahyu mengantisipasi kebutuhan bos barunya yang tiba minggu depan dengan menyusun daftar rumah yang disewakan di sekitar kantor); mengambil tindakan perlawanan sebelum (serangan terjadi); mengatakan (sesuatu) sebelum waktu yang tepat; membelanjakan (dana) sebelum waktunya; membagi-bagikan tugas sebelum waktunya. Boleh juga kata itu dipakai dalam arti memperkirakan atau mengharapkan.

Semua makna antisipasi itu berkaitan dengan sesuatu yang dipersiapkan, dipikirkan, dikerjakan, dirasakan sebelum kejadian tertentu karena unsur anti- dalam kata itu tak berhubungan dengan makna bertentangan atau berlawanan, melainkan berarti sama dengan ante: sebelum atau di muka.

Jadi, bagaimana kiper mengantisipasi tendangan lawan? Kata itu hanya tepat kalau si kiper tidak tahu apakah bola akan ditendang ke gawang atau tidak, atau ke arah mana bola akan disepak. Kalau kiper bergerak memblok bola sesudah bola itu ditendang, dia tidak mengantisipasi melainkan mengatasi. Kalau kiper bergerak sebelum bola ditendang dari titik penalti, dia mengantisipasi; kalau sesudah, namanya bereaksi.

Kembali ke "Antisipasi Kekacauan Penyeberangan Disiapkan". Isi beritanya keputusan Departemen Perhubungan menyediakan kapal cadangan. Kekacauan sudah terjadi, kapal belum disiapkan. Jelas kata kerja yang lebih tepat: menanggapi, menjawab, atau mengatasi. Kalau persiapan tiga bulan lalu dan sekarang kapal cadangan sudah berfungsi, barulah bisa dipakai antisipasi. Tentu tak akan ada berita kekacauan di lintas penyeberangan Merak-Bakauheni. Wartawan yang mengenal baik cara kerja birokrasi Indonesia bolehlah mulai mengantisipasi kekacauan yang akan terjadi di sekitar Lebaran dalam urusan transportasi darat, laut, dan udara dengan menilik dan menelik persiapan dirjen perhubungan.

Jelas, ada kecenderungan memakai antisipasi dengan menghilangkan unsur sebelum dari makna aslinya dan menjadikannya sekadar padanan penyelesaian, tanggapan, tindakan mengatasi, yang lebih menekankan reaksi sesudah suatu peristiwa. Akibatnya, hilang dari antisipasi kandungan kreativitas energi mental, intelektual, dan emosional dalam diri seorang pengantisipasi dalam pergumulannya dengan ketakpastian masa depan. Yang tinggal hanya upaya cari jalan keluar, cari selamat dari persoalan yang sudah muncul di depan mata. Penting memang, tapi tanpa kekayaan imajinasi.

Tanpa kesigapan dan kesiagaan mental yang berwujud dalam pemahaman akan unsur sebelum dalam antisipasi, Indonesia saban tahun bisa jadi tambah pintar menanggulangi macet, banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan, byar-pet, tapi kejadiannya sendiri akan terus berulang sebagai ciri khas sejarah pahit Nusantara.

Samsudin Berlian Pengamat Bahasa

Selanjutnya......

Mau Terkenal dan atau Ternama?

Oleh SamuelMulia
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/16/urban/3832338.htm
================

1. Anda sendiri yang tahu.

2. Kalau Anda ragu-ragu, itu berarti Anda tak yakin. Tak ada manusia ragu bisa yakin apakah ia mau ternama, terkenal, atau keduanya, atau tidak ingin menjadi keduanya, bukan?

3. Jangan jadi terkenal, jadilah ternama. Terkenal bisa tanpa usaha, tetapi menjadi ternama, maksudnya Anda punya nama, mengukir prestasi, itu memerlukan jalan panjang yang kadang berliku.

Saya bisa saja berteman baik dengan Paris Hilton dan duduk minum kopi dengan Bruce Willis—saya bisa ikut terkenal karena mengenal mereka maksudnya—tetapi yang ternama dan punya prestasi itu tetap mereka. Saya cuma teman untuk duduk-duduk, bahkan mungkin bisa jadi dayang-dayang.

4. Dahulu kalau saya berlibur, saya berusaha tinggal di hotel ternama dengan riwayatnya yang legendaris karena saya ingin diasosiasikan dengan hotel ternama itu dan karena Naomi Campbell menjadi salah satu pelanggannya. Padahal, saya tak akan pernah ternama karena mencetak riwayat yang legendaris seperti hotel itu dan mbak Naomi adalah sebuah perjalanan panjang.

5. Teman saya mengatakan kalau kita memiliki keyakinan kita mampu dan ternama buat diri kita sendiri, bukankah selayaknya orang lain yang berhak menilai apakah kita sudah ternama sehingga kita tak jadi jago kandang saja? Saya setuju. Itu mengapa ada yang berprofesi sebagai kritikus, yang memberi masukan. Saya hanya mengingatkan, kalau memberi masukan itu bisa jadi benar bila dinilai dengan hati yang waras, tetapi bisa juga dinilai dengan hati tak waras. Balas dendam atau iri hati, misalnya. Bedanya setipis kertas tisu. Kan, seperti pepatah mengatakan, dalamnya hati siapa tahu?

6. Anak buah saya seorang pembuat puisi ingin menerbit kan buku mengenai karyanya. Ia kesal karena pembuat puisi kondang tak mau memberikan komentarnya di buku itu. Terus saya berpikir, mengapa seseorang sampai perlu membutuhkan pengakuan dari orang ternama. Apakah begitu tidak yakinnya kita ini dengan apa yang kita ciptakan sendiri? Bukankah yang sekarang ternama, dahulu pun tak punya nama?

Maka, saya sarankan dia maju terus tanpa orang ternama karena ketika orang ternama membaca puisinya, puisi teman saya itu bisa menjadi inspirasi buat si ternama. Yang namanya maling kan bukan cuma di jalan. Dan belum tentu yang ternama itu bukan maling. Sekali lagi, dalamnya hati siapa tahu?

7. Give more, expect less.

Selanjutnya......