Wednesday, October 3, 2007

Hidup di Era Perang Asimetrik

Oleh Ninok Leksono
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0710/01/iptek/3884227.htm
==================

"Ancaman perang asimetrik (PA) tidak dapat dihadapi dengan cara
konvensional, apalagi pendekatan militer, karena PA apalagi yang
muncul dan berkembang dari dinamika politik, pada dasarnya harus
diatasi dengan pendekatan politik."

(Theo L Sambuaga, Ketua Komisi I DPR, 27 September 2007)

Perhatian terhadap perang asimetrik tampak nyata ketika pejuang Hizbullah dapat meladeni kekuatan militer Israel (Israel Defence Force) dalam perang yang terjadi di pertengahan tahun 2006 lalu. Hizbullah tidak hilang nyali meskipun Israel mengerahkan mesin perang supercanggih seperti F-16 Sufa. Andalan mereka hanya semangat tempur tinggi, roket Katyusha, dan kecerdikan cara menembakkan roket tersebut, yang sempat menimbulkan ketakutan di kalangan warga yang tinggal di wilayah utara Israel.

Namun, di luar wilayah konflik di Timur Tengah, sesungguhnya perang asimetrik dewasa ini tengah melanda dunia. Amerika Serikat pun dibuat pusing, dan negara seperti Indonesia pun tidak luput dari fenomena ini.

Memerhatikan perkembangan semacam itu, Dewan Riset Nasional (DRN) Kamis (27/9) lalu menyelenggarakan Seminar Terbatas Perang Asimetrik di Jakarta. Tampil sebagai pembicara adalah Ketua Komisi I DPR Theo Sambuaga, mantan Wakil KSAD Letjen (Purn) Kiki Syahnakri, Staf Ahli Menteri Ristek Richard Mengko, dan pengajar Kajian Strategik Intelijens UI T Saut Situmorang.

Kiki Syahnakri dan Richard Mengko menggarisbawahi pandangan DRN bahwa PA cenderung semakin banyak dipraktikkan dalam konflik militer maupun nonmiliter.

Seiring dengan perubahan bentuk peperangan atau cara suatu negara dalam upaya menguasai negara atau bangsa lain, maka spektrum PA bertambah luas.

Menurut Kiki, cara berperang dengan menggunakan senjata atau hard power kini dianggap tidak efisien. Sekadar contoh, sejak September 2001 AS sudah mengeluarkan 602 miliar dollar AS untuk perang Afganistan dan Irak, tetapi apa hasilnya?

Taliban masih eksis dan melawan dengan tangguh, sementara di Irak yang dicapai hanya penggulingan regim Saddam Hussein, tetapi kestabilan yang diharapkan tak kunjung muncul. Untuk tahun 2008, pemerintahan George W Bush masih akan minta anggaran 170 miliar dollar AS lagi untuk perang di kedua negara (Kompas, 28/9).

Kalau hard power jadi tidak efisien, maka soft power dinilai jauh lebih efisien. Di sini termasuk perang budaya, perang ekonomi dan finansial, juga perang informasi. Dengan corak baru ini, yang bertindak sebagai tentara bagi negara maju antara lain perusahaan multinasional dan organisasi nonpemerintah.

Perang asimetrik

Dalam pemahaman umum, PA semula dimaknai sebagai perang antara dua atau lebih kelompok yang kekuatannya berbeda besar. Dalam perkembangan lebih lanjut, pemikir militer masa kini memperluas definisi di atas dengan memasukkan aspek asimetrik dalam strategi dan taktik. Tidak jarang yang muncul di sini adalah strategi dan taktik perang nonkonvensional. Pihak yang lebih lemah berusaha menggunakan strategi untuk menutup kekurangan dalam hal jumlah maupun kualitas.

Richard Mengko mengutip bahwa konsep PA yang dipraktikkan di luar hukum-hukum perang lalu sering didefinisikan sebagai "terorisme".

Dalam konteks modern, PA sering dipandang sebagai komponen Perang Generasi Ke-4.

(Sekadar catatan, mengutip Greg Wilcox, analis militer AS, 2003, Perang Generasi Pertama bertepatan dengan era munculnya senapan dan tentara mulai memanfaatkannya untuk mendapatkan sarana tembak dalam jumlah besar. Perang Generasi Ke-2 bertepatan dengan era munculnya teknologi di Abad ke-19, seperti senapan mesin yang efeknya berlanjut hingga ke era Perang Dunia. Adapun Perang Generasi Ke-3 ditandai dengan motivasi ide sebagai penggeraknya, hingga kemudian sering disebut sebagai peperangan manuver, yang diperlihatkan oleh Jerman yang melancarkan perang kilat (blitzkrieg) semasa Perang Dunia II.

Perang Generasi Ke-4 oleh sejumlah analis sering disederhanakan sebagai terorisme. Ia melahirkan ancaman global, menerapkan organisasi sel dan kelompok aksi yang membangkitkan diri sendiri, acap dilandasi oleh keyakinan etnik, agama, moral, mengincar sasaran masyarakat atau ekonomi yang rawan.

Di sini dikenal pula sponsor negara (dalam hal dana, fasilitas, dan tempat perlindungan), pemanfaatan media untuk memengaruhi opini publik, memanfaatkan teror sebagai alat pilihan, dan punya akses terhadap persenjataan teknologi tinggi yang bisa diperoleh di pasaran.

Sementara itu, basis Perang Generasi Ke-4 bisa berupa nonnasional atau transnasional, seperti ideologi atau agama; melakukan serangan langsung terhadap kultur musuh, dan mampu melancarkan perang psikologis amat canggih, dalam hal ini melalui manipulasi media.

Peneliti Perang Generasi Ke-4 berkeyakinan bahwa tipe perang ini tidak akan menggantikan Perang Generasi Ke-3 dan Ke-2, tetapi akan berkoeksistensi. Berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh ahli falsafah dan strategi perang Clausewitz, yang melihat perang sebagai benturan kebijakan dua negara, Perang Generasi Ke-4 (sering diringkaskan dengan 4GW) bisa diibaratkan petinju lawan infeksi virus.

Meskipun demikian, senjata dan taktik dalam 4GW tidak terbatas pada terorisme. Di Amerika Selatan sempat ditemukan kapal selam yang sedang dibangun oleh kelompok penyelundup obat bius. Jadi praktik 4GW bisa diibaratkan sebagai Fase III aksi gerilya Mao. Ketika musuh sudah sempoyongan, aksi bisa diteruskan dengan pemanfaatan sarana dan taktik konvensional untuk menghancurkan militer musuh yang tersisa.

Konteks Indonesia

Indonesia yang hidup di tengah dunia yang terus berubah sekarang ini juga terpapar pada ide dan potensi dampak PA dan 4GW. Situasi yang berkembang dewasa ini, juga perspektif sejarah yang memperlihatkan bahwa kekuatan lebih lemah bisa mengalahkan kekuatan lebih kuat, di satu sisi bisa melahirkan pandangan optimistik.

Tentang AS yang dibuat kerepotan oleh Vietkong di tahun 1960-an, atau oleh milisi Lebanon (1982), atau juga oleh jawara (warlord) Somalia (1992-1994), menjadi contoh- contoh historis. Tampak bahwa kekuatan raksasa bak Goliath dibuat tidak berdaya secara militer, atau bahkan secara politis kalah oleh lawan-lawan yang berukuran David (Jeffrey Record, Why The Strong Lose, Parameters, 2005).

Indonesia di lingkup regional juga secara militer berada dalam posisi asimetrik dibandingkan tetangga-tetangga dekatnya. Secara militer, bila ingin mengo- reksi keseimbangan, diperlukan kreativitas untuk menghadapi jet tempur atau kapal selam maju yang dimiliki tetangga.

Pada sisi sebaliknya, Indonesia dipandang terlalu kuat oleh pihak-pihak yang punya aspirasi lain, khususnya yang masih belum, atau tidak mau, menerima konsep NKRI dengan berbagai alasan. Atau, lebih spesifik lagi, seperti dikemukakan oleh Saut Situmorang, rakyat yang tertinggal dalam derap pembangunan, potensial untuk meletupkan PA.

Sebenarnya, insiden Cakalele di Ambon 29 Juni 2007 juga bisa disebut sebagai manifestasi PA. Selain menggarisbawahi pandangan bahwa PA memperlebar teater konflik, tidak saja militer tetapi juga seni-budaya; kejadian Cakalele juga memperlihatkan, bagaimana si lemah bisa membuat si kuat "kecolongan" dan menderita kerugian, dalam hal ini dalam soal citra politik.

Si Lemah lawan Si Kuat tak hanya diterapkan RMS di Ambon. Seperti dikemukakan oleh Theo Sambuaga, pemberontak Zapatista di Meksiko juga melancarkan perlawanan terhadap pemerintah yang sah dari pedalaman hutan rimba, sambil menggunakan laptop untuk menyusun strategi dan melancarkan propaganda.

Jelas bahwa sasaran dan medan PA dan 4GW tidak lagi terbatas pada perebutan wilayah, tetapi menjangkau ekonomi, kultur, media, komunikasi, psikologi massa, energi, dan sebagainya. Suasana PA dan 4GW demikian berbeda, di mana peperangan tidak ditandai dengan front jelas, kombatan tanpa uniform, dan sebenarnya berlangsung terus-menerus (kontinu), kata Richard Mengko.

Tanpa merujuk satu kasus spesifik, dengan melihat kondisi nasional yang belum kokoh, perpolitikan masih tinggi, sementara keadaan perikehidupan rakyat pada umumnya masih jauh dari sejahtera, potensi PA tampak riil di Indonesia. Potensi ini jauh lebih riil daripada potensi invasi oleh satu negara asing.

No comments: