Tuesday, October 9, 2007

Timpang

Oleh Ariel Heryanto
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0710/07/persona/3894521.htm
=====================

Lebih dari satu dekade lalu rezim militer Burma terpukau konsep dwifungsi ABRI, bahkan ideologi Pancasila sesudah dipelintir Orde Baru. Mereka ingin mengimpor semua itu dari Indonesia. Maklum waktu itu jadi perwira militer di Indonesia kelihatan wah banget. Hak istimewa berlimpah. Berada di atas hukum. Dan yang terpenting bisa kaya raya tanpa berperang.

Siapa tidak terpikat? Ada anekdot seorang Presiden Amerika Serikat berkunjung ke Indonesia. Dalam acara santai, sang tamu negara bertanya kepada Presiden RI, bagaimana caranya bisa berkuasa berpuluh tahun. Sang tuan rumah membisikkan rahasianya: masuklah Golkar dan ikutlah P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).

Ketika Orde Baru rontok, bukan cuma militer Indonesia yang panik. Bisa dibayangkan betapa pusing militer di Burma. Tidak ada lagi tokoh teladan. Mungkin ada yang menyanggah, antek-antek Orde Baru masih gentayangan sesudah berganti nama, suara, dan baju untuk merangsek masuk pucuk kekuasaan lagi. Benar, tetapi bagaimanapun juga Indonesia sekarang tidak sama dengan 15 atau 20 tahun lalu.

Sebulan ini media massa kita meributkan kasus mantan jenderal yang diduga menerima hadiah dari pengusaha dengan cara yang keabsahannya dipermasalahkan beberapa pihak. Pada zaman Orde Baru mana mungkin harta jenderal atau mantan jenderal dipertanyakan? Mana ada koran menyiarkan berita begituan?

Perkembangan di Burma bisa diikuti dengan melirik sejarah Indonesia sendiri. Di Burma, militer mengambil alih kekuasaan secara tidak sah (alias kup) setelah terbukti kalah dalam pemilihan umum tahun 1990. Sejak itu mereka goyang kaki di tampuk kekuasaan. Untuk mempertahankan kenikmatan ini mereka tidak ragu membuat banjir darah rakyat yang dibantai. Sementara para jenderal dan keluarga mereka hidup mewah, khususnya bila berpelesir ke luar negeri.

Sulit dibilang militer Indonesia melakukan kup. Mereka memang merebut kekuasaan dari serombongan tentara berpangkat menengah yang melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap beberapa perwira tinggi. Kelompok ini menamakan diri Gerakan 30 September (G30S), tanpa embel-embel "PKI". Apakah PKI ikut diam-diam atau sama sekali tidak terlibat, masih diteliti para ahli.

Orde Baru tidak kalah pemilu lalu merebut kekuasaan, seperti junta militer di Burma, tetapi perbedaan itu tidak total. Ada bayang-bayang pemilunya di situ. Bisa dibilang Orde Baru merupakan pihak yang beruntung mendapatkan durian jatuh dari pohon yang digoyang-goyang pemerintah sebelumnya (Presiden Soekarno) dan militer waktu itu.

Menurut sarjana Daniel Lev almarhum, dibatalkannya pemerintahan parlementer di Indonesia akhir dekade 1950-an dan ditegakkannya negara otoriter Demokrasi Terpimpin merupakan siasat Presiden Soekarno dan Jenderal Nasution untuk mencegah berkuasanya PKI yang diramalkan akan menang jika diadakan pemilihan umum nasional secara adil dan demokratis.

Yang terjadi kemudian sudah kita ketahui bersama. Soekarno terjungkal. PKI dibantai habis-habisan. Militer naik panggung kekuasaan tanpa harus bertanggung jawab pada siapa pun. Modal asing masuk dan menggenjot industri kapitalisme yang dalam bahasa Orde Baru disebut Pembangunan. Hasilnya menakjubkan, tetapi tidak terbagi merata.

Ketimpangan antara kesejahteraan para jenderal dan prajurit pada tahun 1965 telah menjadi salah satu motivasi Gerakan 30 September. Begitulah penjelasan resmi mereka dalam siaran pers setelah merebut stasiun RRI.

Ketimpangan itu ternyata tidak pernah menyempit sejak berkuasanya Orde Baru. Malahan menjadi-jadi. Sebagian dari ketimpangan itu diakibatkan tidak meratanya kesempatan melakukan penjarahan harta karun bangsa dan negara. Istilah lain untuk korupsi.

Beberapa mantan jenderal yang sebulan terakhir diberitakan media massa belum terbukti bersalah. Dan semua pihak layak menghormati asas praduga tak bersalah. Tetapi, yang jelas praktik pemberian "hadiah" bernilai raksasa bukan hal yang lazim dinikmati sebagian besar warga negara biasa. Tanyakan para korban lumpur Sidoarjo. Tanyakan juga para prajurit berpangkat rendah.

Bulan lalu dalam sebuah diskusi terbuka di Melbourne tentang 10 tahun reformasi Indonesia, seorang hadirin bertanya bagaimana cara terbaik mengatasi korupsi di Indonesia. Sebagai salah satu panelis, Irman Lanti menjawab tegas: tembak mati. Sebagai panelis lain saya tidak setuju.

Keesokannya saya baca koran: yang tertembak mati bukan koruptor besar. Menurut berita, tentara dan polisi berbaku-tembak. Sama-sama berpangkat rendahan. Menurut berita di koran pula, bentrok seperti ini disebabkan minimnya kesejahteraan mereka.

Di Burma, beberapa prajurit muda menolak perintahan atasan untuk menembak para biksu yang hanya punya nurani dan bukan senjata atau gairah menggantikan para jenderal berkuasa di istana.

No comments: