Sunday, September 16, 2007

Darurat

Oleh Ariel Heryanto
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/16/persona/3838334.htm
=================

Dengan prihatin kita ikuti berita gempa yang melanda Bengkulu dan pantai barat Sumatera. Namun, betapa pun besarnya simpati kita, ada kesenjangan di antara pengalaman para korban dan pemahaman kita yang hanya mengikuti laporan media massa tentangnya.

Sepintas lalu kelihatannya ini soal gamblang dan lumrah. Namun, ini yang sulit kita hargai dalam kesibukan sehari-hari. Kecuali bila tiba-tiba kita sendiri mengalami keadaan darurat itu. Seperti kesehatan, rasa aman, dan bahagia baru mudah dipahami sosoknya setelah mereka lenyap.

Sulit bagi saya memahami betapa beruntung kita yang tidak tertimpa bencana, hingga suatu saat ada pengalaman yang menyadarkan. Ini datang pada saya bulan lalu dalam bentuk gempa berskala 7,5 Richter yang berpusat di dasar Laut Jawa yang mengguncang sebagian besar wilayah Jawa.

Terjadi 10 menit lewat tengah malam, gempa itu mengguncang-guncang seluruh isi kamar saya di tingkat 20 sebuah hotel di pusat kota Jakarta. Saya terbangun, padahal saya termasuk orang yang tidak mudah dibangunkan oleh gangguan bila sudah terlelap. Beberapa menit pertama saya bersusah payah melawan kantuk dan mencoba memahami apa yang terjadi.

Yang jelas saya tidak sigap dan bisa segera menyelamatkan diri. Sementara gempa terus berlanjut. Benda-benda di kamar terguncang-guncang. Yang lebih mengerikan suara gemertak bangunan yang seakan-akan akan ambruk.

Sesudah menyadari situasi pun saya masih sangat lamban bereaksi. Bengong, terpaku di tempat berdiri. Sempat terpikir ajal saya akan datang dalam hitungan detik, atau menit, bersama ambruknya bangunan tinggi ini. Bagaimana sebaiknya memanfaatkan sisa usia yang pendek ini? Lari? Ke mana? Berlindung di sekitar kamar sambil terus menjadi saksi pemandangan aneh di depan saya?

Ketika saya bergegas keluar kamar, tamu-tamu lain berhamburan di koridor dalam pakaian tidur. Guncangan masih terasa, tetapi berkurang kekuatannya. Pintu keluar darurat tidak berhasil saya temukan, padahal tidak jauh.

Ternyata hotel itu tidak ambruk. Tidak ada orang terluka. Tidak juga ada laporan kerusakan berarti. Pengalaman itu saya ceritakan kepada Riri Riza yang bersama Mira Lesmana mengunjungi saya esoknya di hotel. Riri curiga jangan-jangan ada bagian bangunan yang retak di balik karpet yang indah di hotel itu.

Malam itu ketika para tamu berhasil mencapai lantai dasar hotel, tampak petugas hotel keheranan dan tak paham ada apa. Derita para tamu di lantai atas tidak bisa langsung dipahami mereka yang berada di lantai bawah. Apalagi mereka yang cuma mendengar berita ini dari jauh. Berita di media massa pun tidak bisa dramatis karena tidak ada korban atau kerusakan berat.

Gempa itu tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan yang di Bengkulu, apalagi Yogyakarta. Namun, pengalaman pribadi tidak bisa diraba dengan data statistik. Bagi yang mengalami langsung, gempa "ringan" bulan lalu itu bisa berlanjut dalam bentuk trauma. Seperti yang saya alami.

Di kamar hotel yang sama saya merasa gempa itu datang lagi ketika tidur malam. Terjaga, saya amati sekitar saya dan berusaha percaya tidak apa-apa. Saya mencoba tidur lagi. Beberapa menit kemudian kasur saya terasa bergetar lagi. Saya bangun lagi dan memeriksa sekitar saya. Mencoba lebih teliti. Namun, tidak ada apa-apa. Ini terulang terus beberapa jam.

Ada lagi yang mengkhawatirkan. Bukan gempanya sendiri, tetapi faktor manusia. Pelayanan hotel berbintang lima ini memuaskan dalam banyak hal. Namun, mereka tidak siap menghadapi keadaan darurat dan melindungi tamu mereka.

Ketika gempa tiba, tidak ada sirene, pengumuman, atau sistem petunjuk yang menandakan datangnya bahaya. Tidak muncul pemandu yang memimpin evakuasi para tamu ke tempat aman. Para tamu dibiarkan berlari menyelamatkan diri masing-masing. Untung malam itu para tamu berbondong ke arah yang sama. Bayangkan seandainya mereka menyebar ke berbagai arah.

Selama lebih dari 15 menit pertama para tamu berada di luar hotel dalam cemas dan kegelapan dan menunggu. Tidak ada seorang pun dari pihak hotel muncul menemui mereka. Tidak ada keterangan apakah gempa sudah berakhir, apakah tamu bisa kembali masuk kamar, atau sebaiknya menunggu dulu. Tidak ada tawaran bagi yang yang membutuhkan pertolongan.

Entah, sejauh mana hal itu biasa di Jakarta. Beberapa hari kemudian seorang rekan mengajak saya ke sebuah kompleks gedung bioskop terbaru dan termegah di Jakarta. Mata dimanjakan desain interior tempat ini, tetapi perhatian terpusat pada satu hal. Tidak jelas di mana ada jalur darurat untuk keluar yang mudah, aman, dan cukup lebar jika bangunan megah itu padat pengunjung di lantai atas dan tiba-tiba ada keadaan bahaya.

Indonesia pernah punya Bapak Pembangunan, tetapi tidak ada Ibu, Abang atau Tante Penyelamatan dari keadaan darurat. Bila Jakarta digempur gempa berkekuatan separuh saja dari yang menyerang Bengkulu, bisa dibayangkan berapa puluh kali lipat lebih besar korban nyawa dan kerusakan yang bisa diakibatkan.

No comments: