Sunday, September 16, 2007

Tak Layak Bagimu

Oleh SamuelMulia
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0709/16/urban/3832338.htm
================

Suatu siang saya memasuki gerai telepon genggam di sebuah mal. Saat itu saya hanya bercelana jins, sepatu sport yang saya injak bagian belakangnya dengan kaos berlengan pendek sebagai atasan.

Secara keseluruhan penampilan saya seperti mahasiswa tanpa harapan lulus dan tanpa punya masa depan. Salah satu petugas pria langsung menyelidiki saya dengan matanya yang menusuk tajam, dari atas hingga bawah plus senyumnya yang mencibir.

Saya yakin sekali setelah melihat gerak tubuhnya itu, dia menggolongkan saya langsung sebagai pembeli tak punya harapan. Apalagi ketika saya menanyakan telepon genggam seri sekian yang harganya lebih dari sepuluh juta rupiah, dengan penampilan ala mahasiswa tanpa harapan itu. Saya ingat wajah dan senyumnya yang mencibir. Mungkin sama seperti tulisan saya beberapa minggu lalu soal seorang pembaca yang sakit hati dan sampai sekarang masih mengingat wajah saya yang angkuh dan tidak ramah itu. Sekarang saya baru tahu rasanya dihina, tepatnya dianggap tidak mampu.

Jatuh tempo

Sebulan kemudian, saya dicibir secara tidak langsung oleh dua fotografer kondang di Jakarta ketika saya hendak meminta keduanya membantu sebuah majalah baru klien saya. Majalah buatan lokal. Yang pertama menjawab telepon saya, berjanji mau membantu dan berjanji juga akan menghubungi saya kembali untuk memberi tahu waktu yang tepat, karena kesibukan jadwalnya.

Saya tunggu selama dua hari. Tak ada jawaban. Saya SMS ulang lagi, ia masih membalas SMS saya dan berjanji memberi tahu jadwal yang tersedia. Sampai hari ini, SMS saya tak pernah ada jawabannya.

Mau saya SMS lagi, saya merasa sayang pulsa saya. Tak hanya itu, saya juga harus lebih peka. SMS yang tak terjawab itu bisa jadi sebuah tanda ia tak bersedia, hanya mungkin ia tak tega mengatakannya. Mungkin ia merasa majalah klien saya itu belum mampu dan belum layak baginya. Persis seperti cibiran petugas di gerai telepon genggam itu. Saya dianggap tak layak membeli telepon genggam di atas sepuluh juta rupiah.

Yang kedua, menyapa saya ramah di sebuah pesta kaum jetset. Sama seperti peristiwa pertama, ia menjanjikan untuk membantu majalah klien saya. Dua minggu setelah pertemuan yang menjanjikan, saya meneleponnya, tetapi tak mendapat respons. Karena tidak diangkat, saya berasumsi ada kata missed call di layar telepon genggamnya. Itu berarti saya mengharap ia membalas telepon tak terjawab itu.

Ternyata tidak. Seminggu setelah itu, saya bertemu dengannya di sebuah pesta jetset lagi. Dan sekali lagi saya meminta pertolongannya tanpa harus mengingatkan saya pernah meneleponnya. Ia menjawab. "Pasti, Mas. Pasti."

Dia memang sangat konsisten dengan jawabannya. Pasti tidak menolong, maksudnya. Karena sampai tulisan ini melayang ke meja editor, dia tak pernah menjawab telepon saya.

Kemudian saya berpikir mungkin fotografer yang kedua ini sama juga dengan petugas gerai tadi. Jawaban-jawaban yang mirip mimpi di siang bolong itu seperti menyatakan kepada saya "kami tidak layak bagimu". Janji yang bak mimpi di siang bolong itu juga saya pernah lakukan. Kadang saya merasa orang tak layak menerima pertolongan saya. Jadi, tampaknya kejadian di atas seperti tagihan kartu kredit yang jatuh tempo buat saya.

Terkenal, tetapi tak ternama

Ketika majalah baru dari klien saya terbit, sebuah toko buku menolak menjualkan majalah itu dengan alasan majalahnya masih belum ternama untuk bisa masuk ke rak buku. Mereka masih harus mengevaluasi majalah itu karena majalah yang mereka jual adalah hanya majalah-majalah ternama. Majalah klien saya belum ternama. Ternama?

Dengan IQ saya yang jongkok, saya menganggap ternama itu memerlukan perjalanan panjang dan memiliki hasil positif, sementara terkenal itu bisa dilakukan dalam waktu sekian detik, dan bisa jadi hasilnya tak selalu positif. Saya membunuh lima orang terkenal di sebuah mal, maka saya akan terkenal juga.

Banyak pembaca yang mengatakan kepada saya, saya diharamkan mengatakan IQ saya jongkok. Katanya masak ciptaan Tuhan bicara seperti itu. Padahal, saya ini mau jujur, saya memang seperti itu. Mengapa saya merasa itu oke-oke saja, karena buat saya jongkok dan tidak jongkok, keduanya juga kebesaran Tuhan. Keduanya memiliki nilai sama. Sama-sama maksimal. Yang satu maksimal pandai, yang satu bodohnya maksimal. Saya melihatnya seperti itu, bukan melihat bahwa bodoh itu kurang pandai. "Bisyaaa aja," kata teman saya.

Toko buku itu sendiri terkenal, tetapi tak ternama. Ia menjadi terkenal karena menjual majalah ternama. Jadi, yang ternama majalahnya, tokonya sama sekali tak ternama, hanya terkenal, artinya dikenal sebagai tempat berjualan majalah ternama.

Itu sebabnya banyak teman saya yang penulis atau fotografer, termasuk saya juga, selalu ingin karya-karyanya masuk ke majalah ternama. Selain membanggakan, kata salah satu dari penulis, bisa mendongkrak kehidupan masa depan. Seharusnya saya ini berpikir, bukan masuk ke majalah kondang yang penting, tetapi seberapa jauh saya ini meyakini kehebatan saya sendiri tanpa harus mencari bala bantuan dari luar.

Kalau saya yakin saya ini ternama buat diri saya sendiri, artinya saya mengevaluasi saya ini oke, maka mau masuk majalah ternama atau tidak, tak akan jadi masalah.

Setelah saya mengalami perjalanan hidup naik dan turun, saya berpikir masa depan saya itu tak ditentukan apakah karena saya masuk ke majalah ternama atau tidak. Lha wong setiap pagi saya bisa bangun dan punya nyawa, kan bukan karena koran ternama ini yang memberi saya nyawa? Jadi, saya menggantungkan masa depan itu ke Sang Pemberi nyawa, dan bukan ke sebuah toko buku, majalah, biro iklan, atau fotografer.

SamuelMulia
Penulis Mode dan Gaya Hidup

No comments: